Kenapa campaign ini ada?

Kenapa campaign ini ada?

150 150 suarise

Berdasarkan perhitungan kasar yang dimiliki Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI), dari sekitar 30 juta pekerja sektor informal di Indonesia, baru sekitar 300 penyandang cacat saja yang sudah bekerja atau hanya 0,001 persen saja. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan tahun 1998 jumlah tuna netra mencapai 1.884.557 jiwa atau 0,90% dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (data BPS 1998 jumlah penduduk Indonesia 209.395.222 jiwa).

Tercatat 120 ribu penyandang cacat di Jawa Barat harusnya terakomodir dalam pengangkatan CPNS di seluruh Jawa Barat yang mencapai 19.800 orang tahun ini. Dari 998 orang yang dibutuhkan hanya 2 pelamar penyandang cacat saja, itupun non Tuna Netra(Jumono:2008). Padahal Di Bandung sendiri, tahun 2006 tercatat 4334 orang penyandang cacat yang harus dialokasikan. Alasan yang diutarakan oleh Kepala Bagian Kepegawaian Daerah Kota Bandung, Evi Syaefini Saleha, adalah tenaga teknis untuk penyandang cacat tidak memungkinkan. Sementara menurut Direktur RS Mata Cicendo, DR. dr. Farida Sirlan SpM, 20% dari jumlah penderita yang ada di Jabar, merupakan usia produktif. Ini berarti Jabar akan kehilangan sumber daya manusia dan mengalami kerugian secara ekonomi.

Aspek lain yang sering kali menjadi pertimbangan untuk menolak tenaga kerja tunanetra adalah masalah “efisiensi”. Umumnya tuna netra membutuhkan piranti lunak yaitu “Speech Synthesizer” yang merubah tampilan pada monitor menjadi audio. Piranti ini belum dapat diproduksi di Indonesia dan masih harus diimpor. Harga dari piranti ini juga tidak murah, sekitar $1200. Maka dapat dibayangkan keengganan instansi baik swasta maupun pemerintah untuk menginvestasikan dana untuk hal tersebut dengan alasan “tidak efisien”(sumber: www.mitranetra,com).

Permasalahan penerimaan tenaga kerja ini kerap kali terjadi karena sistem sosial tidak dirancang dengan mempertimbangkan kepentingan kaum tunanetra, akibatnya mereka tidak dapat memasuki kehidupan “main stream”. Di bidang pendidikan misalnya, mereka disisihkan disekolah-sekolah luar biasa dan panti-panti rehabilitasi yang hanya memberikan ketrampilan yang bersifat konvensional, misalnya membuat sapu, keset, memijat, karena menurut para perancang kebijakan hanya itu saja yang bisa dilakukan tunanetra. Masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk berbuat sesuatu, bukan sebagai pemacu untuk lebih berhasil (Nurkolis, 2002). Akibat di bidang tenaga kerja, kesempatan dan peluang kerja yang mereka milikipun juga sangat terbatas, sementara saudara-saudara mereka yang berpenglihatan normal telah melesat jauh meninggalkan mereka.

Masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa penyandang cacat tidak bisa bekerja dengan baik, tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk memegang suatu jabatan, lebih banyak merepotkan, dan menambah pengeluaran perusahaan karena harus mengeluarkan akomodasi dan fasilitas khusus. Hal inilah yang sering membuat para pelamar yang kebetulan penyandang cacat gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukan kualifikasinya (Sulastri, 2006). Contoh dari tindakan tersebut adalah lamaran tidak ditanggapi, tidak dipanggil untuk tes, atau wawancara padahal sudah memenuhi ketentuan persyaratan kerja. Mereka kalah bersaing dengan rekan yang tidak cacat meskipun secara akademis dan skill penyandang cacat tersebut lebih unggul dari rekan rekannya (Dedi Mulia, 2008).

Diskriminasi juga tampak pada kebijakan perusahaan dalam hal penerimaan tenaga kerja dari kalangan diffabel. Umumnya perusahaan tidak memiliki program khusus untuk menerima kaum diffabel, khususnya tuna netra sebagai pegawai, apalagi memenuhi kuota yang diberikan pemerintah. Dibutuhkan suatu bentuk sosialisasi untuk menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan tuna netra. Hal ini juga harus diimbangi oleh latar belakang dapat mendorong perusahaan untuk menerima karyawan dari kalangan tuna netra sehingga perusahaan bukan memandang tuna netra sebagai beban melainkan asset.

Berpartisipasi dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia tunanetra, berarti telah berperan membentuk tunanetra menjadi asset masyarakat, dan bukan sebaliknya menjadi beban masyarakat. Masalah tunanetra bukan hanya menjadi masalah mereka sendiri, tapi merupakan masalah kita semua, seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara, karena tunanetra merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh komponen tersebut.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Leave a Reply