paper

Visual Concept : Print Ad

150 150 Rahma Utami

Post ini berisi rancangan kampanye berupa Print Ad. Secara stage, ini merupakan bagian dari Conditioning Part B ( baca : Overall Project Plan). Conditioning part A belum sempat diwujudkan visualnya pada periode Tugas Akhir dan saat ini dalam tahap brainstrorming kembali.

Ini masih jauh dari sempurna, segala saran, perbaikan, masukan (mungkin ada yg nyuruh re-take) harap disampaikan yah 😀

Rancangan awal pada tahap Informing (ok, ini super duper masih jauh dari maksimal. Dibutuhkan bantuan ide nih)

Dan untuk tahap Remindingnya so far:

Masih mungkin banget untuk membuka pad alebih banyak varian visual yang lebih baik dan (mungkin) gak hard-selling. 😀

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Konsep Media

150 150 Rahma Utami

Konsep media yang dipakai mengacu pada paduan pendekatan media lini atas dan lini bawah dengan pendekatan Point of  Contact atau titik-titik untuk menyapa/kontak dengan target audiens (Djito Kasilo, 2008:66) dengan menelaah Consumer Journey dengan memperhatikan sarana, penempatan dan kegiatatan sehingga membuat strategi komunikasi menjadi efektif dan efisien. Consumer journey digali dari consumer insight sehingga menghasilkan point of contact.

Point of Contact

Point of Contact dari target audiens antara lain:

  1. Saat menyetir mobil ataupun di taksi, terkadang terjebak dalam kemacetan dan keramaian kota sehingga sering menerawang keluar kaca mobil untuk mengalihkan pikiran atau sekedar menyalakan radio atau mp3 di mobil mereka terjebak dalam kemacetan kota.  Radio, interior mobil/taxi, dan hal-hal yang dilihat diluar jendela mobil seperti billboard dapat dijadikan media.
  2. Berkantor di gedung bertingkat, dan masuk ke lift untuk mencapai lantai yang diinginkan. Lift bisa menjad media.
  3. Sesampainya di kantor, diatas meja tersaji secangkir kopi, Koran, dan beberapa dokumen serta memo yang harus diperiksa. Cangkir kopi, Koran, dokumen-dokumen seperti kertas, memo, direct mail serta stasionery bisa menjadi media.
  4. Adakalanya harus berhadapan seharian dengan monitor komputer di depannya, mengecek e-mail dan hal-hal lainnya. Komputer dan internet bisa menjadi media.
  5. Mengadakan pertemuan ataupun sekedar bersantai di resto-resto mahal sekelas sushi-tei. Meja putar sushi bisa menjadi media.
  6. Kebiasaan lebih memilih TV kabel, namun tetap tertarik pada acara sekelas berita, politik, ataupun talkshow moderat seperti Kick Andy. TVC pada slot acara terkait ataupun talkshow bisa menjadi media.
  7. Online 24/7, BlackBerry, iPhone, dan SMart Phone on hand. Pencarian informasi utamanya melalui sarana internet. Kebiasaan internet ini bisa dimanfaatkan baik media maupun buzz. Twitter, facebook, dan microsite. Ditetapkan @tuneinthelight sebagai sumber update informasi dan hastag #blindforwork sebagai perantara buzz antar user di twitter.

Kesemua point of contact di atas mengacu kepada target utama: perusahaan (re: orang yang memiliki kewenangan dan berpengaruh terhadap sistem perekrutan perusahaan). Target sekunder, yaitu masyarakat luas lebih di tekankan pada ambient media pada pusat keramaian seperti mall.

Strategi media

Kampanye dilaksanakan selama 1 tahun dan dimulai pada bulan Mei. Pada bulan mei terdapat momentum budi utomo sebagai awal dan pada tahap informing, event dibuat pada bulan desember sekaligus memeringati hari penyandang cacat internasional.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Tentang Nama: Kenapa Tune In The Light

150 150 Rahma Utami
Konsep Verbal (Positioning, Slogan, Kata Kunci)

“Percaya, kami bisa.”

Elemen verbal yang digunakan menggunakan bahasa yang formal dan sopan menandakan keseriusan dan profesionalitas. Kata yang dipilih simple namun bermakna dalam. Judul kampanye ini adalah tune in the light, dengan tagline “percaya, kami bisa.”

Tune in the light terdiri dari 2 kelompok kata: tune in dan the lightTune in adalah kata yang berarti dengarkan atau nyalakan hal hal yang berkenaan dengan suara. Umumnya kata ini disandingkan dengan radio, musik dan sejenisnya. The light atau cahaya dapat berarti harapan, hidup, lilin, ataupun penuntun jalan. Biasanya, the light dipadankan dengan kata turn on. Namun karena dalam duna netra anggaplah kita menghilangkan konteks cahaya (karena tuna netra pada umumnya tidak mengenal cahaya) melainkan suara. Suara berarti penuntun mereka, harapan mereka. Jadi  kedua kalimat ini dipadukan untuk membuat suatu pendekatan ke arah itu.

Penggunaan bahasa inggris sebagai judul program merujuk pada kemodernan dan keprofesionalitasan (karena pada umumnya profesionalitas mengacu pada nilai-nilai intrinsik dari Barat) serta ke globalan isu yang diangkat (ini bukan hanya masalah bagi Indonesia, tapi seluruh dunia) . Sedangkan tagline tetap dengan bahasa Indonesia karena untuk mendekatkan diri dengan nilai-nilai karakter Indonesia.

Percaya, kami bisa,  merupakan tagline yang akan dibawa pada setiap tahapan kampanye. Kata-kata ini dipilih karena pada umumnya masyarakat tidak mempercayai kemampuan tuna netra terutama kaitannya dengan keahlian yang sifatnya non konvensional. Kata percaya dipilih kembali setelah penggunaan kata “tune in the light” untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang harus dilakukan.

Untuk hal yang bersifat body copy, disesuaikan dengan what to say yang disesuaikan pada masing-masing visual iklan.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

The Creative Brief

150 150 Rahma Utami

Creative Brief (Bates Indonesia)

Segala hal yang tertera di bawah ini masih meruakan pemikiran basic dari saya. Segala perubahan dan penyesuaian terhadap kampanye ini sendiri masih dapat dilakukan terutama untuk pengembangan ide dan implementasinya.

Why are we advertising?

Mengajak target (perusahaan) untuk memberikan kesempatan yang sama bagi tuna netra untuk dapat bekerja sesuai dengan keahlian yang dimiliki dan keahlian ini bukan keahlian yang sifatnya konvensional seperti tukan pijat dan lain lain.

To whom are we talking?

Target market adalah perusahaan perseroan. Perusahaan yang dituju memiliki karakter multinasional ataupun akan bergerak menuju multinasional. Target merupakan perusahaan yang belum pernah mempekerjakan tuna netra sebagai karyawan di perusahaan mereka namun potensial untuk mempekerjakan tuna netra sebagai karyawan pada posisi-posisi tertentu. Perusahaan ini umumnya belum mengetahui keahlian apa saja yang dimiliki oleh tuna netra.
Jika dipersonifikasikan, maka target adalah pemegang keputusan ataupun pemberi pertimbangan dalam suatu perusahaan yaitu HRD dan user (manajer). Secara demografis, target audiens adalah professional dengan usia 25-50 tahun, Ses A dan B , unisex, tinggal di perkotaan.

What insight do we have about them?

Secara psikografis target audiens merupakan orang yang hidup diperkotaan. Membawa mobil sendiri atau cukup sering menggunakan taxi sebagai sarana transportasi. Terkadang terjebak dalam kemacetan dan keramaian kota sehingga sering menerawang keluar kaca mobil untuk mengalihkan pikiran atau sekedar menyalakan radio atau mp3 di mobil mereka. Membaca Koran dan membuka internet setiap hari dengan secangkir kopi terhidang di atas meja kerjanya. Terkadang, mereka harus berhadapan seharian dengan monitor komputer di depannya. Berkantor di gedung bertingkat, yang memungkinkan penggunaan lift tiap hari. Orang-orang ini adalah orang yang berhadapan dengan berbagai dokumen tiap hari, baik di atas meja, maupun dalam dunia maya. Mengadakan pertemuan ataupun sekedar bersantai di resto-resto mahal sekelas sushi-tei.Tidak menyukai sinetron, lebih memilih TV kabel, namun tetap tertarik pada acara sekelas berita, politik, ataupun talkshow moderat seperti kick andy. Berpikiran terbuka dan professional keprofesionalan dalam bekerja, menginginkan segala sesuatu berjalan efisien dan efektif. Berhati-hati dalam membuat keputusan. Dalam recruitment mereka berprinsip “put the right man in the right place” dan mempertahankan objektivitas dari berbagai segi.

What do we want them to think/do?

Tuna netra memiliki kemampuan yang sama dengan tenaga kerja pada umumnya dan menerima mereka sebagai pegawai tanpa merendahkan kemampuan mereka dengan mempekerjakannya sesuai dengan kapasitas mereka.
Merekrut tuna netra sebagai pegawai di perusahaan sesuai dengan kapasitas masing-masing.

What is our preposition?

Tune in the light, percaya,kami bisa!
Apakah Anda dengar perbedaannya? Jelajahi kemampuan tuna netra, sadari mereka sama.
Jangan padamkan kesempatan mereka untuk bekerja. Akui kemampuan tuna netra, berikan kesempatan yang sama.
Kami percaya, Anda?

What is the support for this preposition?

Ketika melihat mereka bekerja dan hasil kerja mereka secara langsung maka umumnya keraguan akan kemampuan mereka akan hilang.
Tuna netra terbiasa dengan system bekerja yang efisien dan efektif karena terbiasa untuk tidak memulai kesalahan.
Perusahaan memiliki tanggung jawab yaitu Corporate Social Responsibility (CSR). CSR dapat diarahkan kepada ke daerah human resources dengan cara perekrutan tenaga kerja.
Setiap kesempatan kecil yang diberikan kepada tuna netra kan dimanfaatkan sebaik baiknya karena minimnya peluang yang mereka miliki untuk mendapatkan peluang ini kembali.
Masyarakat akan selalu memandang positif terhadap kegiatan yang melibatkan penyadang cacat yang berarti menngkatnya nama baik perusahaan.
Bukti dari perusahaan yang telah mempekerjakan tuna netra seluruhnya memberikan sentimen positif atas kinerja mereka.

What are the mandatories?

a. Logo sponsor: Pertuni, disnakertrans, yayasan mitra netra, psbn wyata guna, logo event
b. Nama program: trust
c. Tagline : Percaya kami bisa.

What is the tone and manner?

Korporat, professional, bersih, optimis, dekat

Creative requirements ? (Media)

1. Media lini atas seperti billboard, tvc, radio, dan Koran nasional
2. Media lini bawah: direct mail
3. Ambient media sebagai pendukung di lingkungan yang terkait dengan target audiens.
4. Viral media: word of mouth untuk menyebarkan informasi ini

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

KONSEP KOMUNIKASI

150 150 Rahma Utami

Komunikasi yang direncanakan mengacu pada strategi komunikasi yang berbasis Target Audiens dengan menggali consumer insight seperti yang dipaparkan oleh Djito Kasilo dalam Komunikasi Cinta(2008: 76).

Karena target audiens yang dituju adalah perusahaan berbentuk perseroan yang memiliki kredibilitas dan mapan dengan karakter professional maka pendekatan komunikasi lebih diarahkan pada personifikasi 2 karakter yang memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dalam hal perekrutan tenaga kerja,  yaitu HRD dan pimpinan.

Dalam proses perekrutan tenaga kerja, tentunya perusahaan akan melihat sisi positif atau keunggulan dari calon karyawan. Hal ini diterapkan pada kampanye ini dengan mendeskripsikan hal-hal positif yang berkaitan dengan keahlian tuna netra.

Pendekatan yang digunakan adalah pada setiap jalan prosesnya, semua tetap dilakukan sesuai prosedur penerimaan pegawai pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah penempatannya. Penempatan ini disesuaikan dengan kualifikasi tuna netra. Diberikan pemaparan informasi mengenai alternatif keahlian para tuna netra serta pandangan tuna netra sebagai asset perusahaan dalam tiap kampanyenya. Pendekatan tetap dilakukan seprofesional mungkin karena inti pesannya bukanlah menyampaikan keibaan, namun pemerataan kesempatan dan pengakuan atas kemampuan tenaga kerja tuna netra. Nantinya target audiens diharapkan dapat menilai tuna netra dengan objektif tanpa dipengaruhi paradigma awal yang mendiskriminasikan tuna netra.

Selain itu, dengan cara ini, meskipun ada fasilitas yang memang perlu ditambahkan untuk mengefektifkan kerja dari tuna netra, hal ini tidak akan adipandang sebagai “tidak efisien” melainkan memang tanggung jawab social perusahaan untuk memberikan fasilitas kerja bagi karyawannya sehingga dana yang keluar tidak akan menjad masalah karena merupakan transformasi bentuk dari CSR, misalnya. Alasan ini dapat menjadi modal awal sehingga perusahaan semakin memandang dukungan fasilitas ini memang worth it sebagai asset.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Kenapa campaign ini ada?

150 150 suarise

Berdasarkan perhitungan kasar yang dimiliki Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI), dari sekitar 30 juta pekerja sektor informal di Indonesia, baru sekitar 300 penyandang cacat saja yang sudah bekerja atau hanya 0,001 persen saja. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan tahun 1998 jumlah tuna netra mencapai 1.884.557 jiwa atau 0,90% dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (data BPS 1998 jumlah penduduk Indonesia 209.395.222 jiwa).

Tercatat 120 ribu penyandang cacat di Jawa Barat harusnya terakomodir dalam pengangkatan CPNS di seluruh Jawa Barat yang mencapai 19.800 orang tahun ini. Dari 998 orang yang dibutuhkan hanya 2 pelamar penyandang cacat saja, itupun non Tuna Netra(Jumono:2008). Padahal Di Bandung sendiri, tahun 2006 tercatat 4334 orang penyandang cacat yang harus dialokasikan. Alasan yang diutarakan oleh Kepala Bagian Kepegawaian Daerah Kota Bandung, Evi Syaefini Saleha, adalah tenaga teknis untuk penyandang cacat tidak memungkinkan. Sementara menurut Direktur RS Mata Cicendo, DR. dr. Farida Sirlan SpM, 20% dari jumlah penderita yang ada di Jabar, merupakan usia produktif. Ini berarti Jabar akan kehilangan sumber daya manusia dan mengalami kerugian secara ekonomi.

Aspek lain yang sering kali menjadi pertimbangan untuk menolak tenaga kerja tunanetra adalah masalah “efisiensi”. Umumnya tuna netra membutuhkan piranti lunak yaitu “Speech Synthesizer” yang merubah tampilan pada monitor menjadi audio. Piranti ini belum dapat diproduksi di Indonesia dan masih harus diimpor. Harga dari piranti ini juga tidak murah, sekitar $1200. Maka dapat dibayangkan keengganan instansi baik swasta maupun pemerintah untuk menginvestasikan dana untuk hal tersebut dengan alasan “tidak efisien”(sumber: www.mitranetra,com).

Permasalahan penerimaan tenaga kerja ini kerap kali terjadi karena sistem sosial tidak dirancang dengan mempertimbangkan kepentingan kaum tunanetra, akibatnya mereka tidak dapat memasuki kehidupan “main stream”. Di bidang pendidikan misalnya, mereka disisihkan disekolah-sekolah luar biasa dan panti-panti rehabilitasi yang hanya memberikan ketrampilan yang bersifat konvensional, misalnya membuat sapu, keset, memijat, karena menurut para perancang kebijakan hanya itu saja yang bisa dilakukan tunanetra. Masyarakat memandang kecacatan (disability) sebagai penghalang (handicap) untuk berbuat sesuatu, bukan sebagai pemacu untuk lebih berhasil (Nurkolis, 2002). Akibat di bidang tenaga kerja, kesempatan dan peluang kerja yang mereka milikipun juga sangat terbatas, sementara saudara-saudara mereka yang berpenglihatan normal telah melesat jauh meninggalkan mereka.

Masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa penyandang cacat tidak bisa bekerja dengan baik, tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk memegang suatu jabatan, lebih banyak merepotkan, dan menambah pengeluaran perusahaan karena harus mengeluarkan akomodasi dan fasilitas khusus. Hal inilah yang sering membuat para pelamar yang kebetulan penyandang cacat gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukan kualifikasinya (Sulastri, 2006). Contoh dari tindakan tersebut adalah lamaran tidak ditanggapi, tidak dipanggil untuk tes, atau wawancara padahal sudah memenuhi ketentuan persyaratan kerja. Mereka kalah bersaing dengan rekan yang tidak cacat meskipun secara akademis dan skill penyandang cacat tersebut lebih unggul dari rekan rekannya (Dedi Mulia, 2008).

Diskriminasi juga tampak pada kebijakan perusahaan dalam hal penerimaan tenaga kerja dari kalangan diffabel. Umumnya perusahaan tidak memiliki program khusus untuk menerima kaum diffabel, khususnya tuna netra sebagai pegawai, apalagi memenuhi kuota yang diberikan pemerintah. Dibutuhkan suatu bentuk sosialisasi untuk menumbuhkan kepercayaan terhadap kemampuan tuna netra. Hal ini juga harus diimbangi oleh latar belakang dapat mendorong perusahaan untuk menerima karyawan dari kalangan tuna netra sehingga perusahaan bukan memandang tuna netra sebagai beban melainkan asset.

Berpartisipasi dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia tunanetra, berarti telah berperan membentuk tunanetra menjadi asset masyarakat, dan bukan sebaliknya menjadi beban masyarakat. Masalah tunanetra bukan hanya menjadi masalah mereka sendiri, tapi merupakan masalah kita semua, seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara, karena tunanetra merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh komponen tersebut.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia