JOURNAL

ilustrasi pria memegang kartu prakerja

Situs Kartu Prakerja, Apakah Aksesibel Bagi Tunanetra?

1181 949 Juwita Maulida

Sejak 11 April 2020, pemerintah telah meluncurkan Program Kartu Prakerja. Dikutip dari situs resminya, Program Kartu Prakerja merupakan bantuan biaya pelatihan bagi masyarakat Indonesia yang ingin memiliki atau meningkatkan keterampilannya. Di tengah dampak ekonomi imbas COVID-19, program ini menjadi harapan bagi mereka yang  kehilangan pekerjaan, tak terkecuali penyandang tunanetra. 

Apakah situs Kartu Prakerja aksesibel untuk penyandang tunanetra? Yuk cari tahu lebih lanjut di ulasan berikut!

Langkah Pertama – Pembuatan Akun Kartu Prakerja

Langkah awal saat kita ingin mengakses Program Kartu Prakerja adalah membuat akun. Pertama, kunjungi website Program Kartu Prakerja, dan cari tautan “daftar sekarang. Kemudian kita harus mengisi alamat email dan password. Selanjutnya, kita wajib mencentang persetujuan kebijakan privasi serta syarat dan ketentuan, sebelum menekan tombol “daftar”. 

Pada tahap ini, penyandang tunanetra dapat mendaftar secara mandiri menggunakan perangkat laptop atau ponsel pintar yang dilengkapi software pembaca layar. Form pengisiannya pun cukup sederhana dan bisa diakses untuk pembaca layar. Sebagai catatan, ketika kita telah menekan tombol “daftar”, server akan mengirimkan email untuk melakukan verifikasi. Cara ini juga lebih mudah dibandingkan jika penyandang tunanetra harus mengisi kode verifikasi yang kadang berbentuk gambar atau grafik.

Baca juga tulisan Juwita lainnya di sini

Langkah Kedua – Verifikasi KTP

Tahap berikutnya adalah verifikasi KTP. Terdapat  dua kolom pengisian yang harus diisi, yaitu kolom nik KTP dan tanggal lahir. Untuk verifikasi KTP, kita harus memasukkan 16 digit angka NIK. Sedangkan untuk tanggal lahir, kita bisa mengedit tanggal yang tertera pada kolom. Misal  “13-10-1988”. Setelah kita mengetikkan tanggal lahir, akan muncul beberapa pilihan yang harus kita “enter”. Misalnya “Kamis, 13 oktober 1988”. 

Untuk verifikasi KTP pada Program Kartu Prakerja, sebaiknya dilakukan menggunakan perangkat komputer. Berdasarkan pengalaman pribadi, sering terjadi kesalahan saat memilih tanggal lahir ketika menggunakan smartphone. Misalnya, ketika sudah memilih opsi “Kamis, 13 Oktober 1988,” justru yang tercantum “Rabu, 12 Oktober 1988”, sehingga muncul keterangan “data tidak valid”. Namun, saat menggunakan laptop, navigasi dan pemilihan tanggal lahir lebih aksesibel bagi tunanetra. 

 

Langkah Ketiga – Melengkapi Data Diri

Pada tahap ini, penyandang tunanetra mulai menemukan tantangan aksesibilitas pada website Program Kartu Prakerja. Langkah ketiga berkaitan dengan melengkapi data diri. Mulai dari nama lengkap dan alamat sesuai KTP atau alamat domisili. Di bagian form kedua terdapat kolom tentang jenis kelamin, status bekerja, pendidikan terakhir, dan topik pelatihan yang diminati. Secara visual, kedua form ini terbagi menjadi bagian sebelah kiri dan kanan layar. Hal inilah yang menjadikan pengisian form ini kurang aksesibel bagi tunanetra. 

Ketika mencapai akhir form bagian pertama, penyandang tunanetra tidak bisa langsung bernavigasi pada form bagian kedua. Untuk berpindah ke bagian kanan layar, kita harus mengarahkan kursor menggunakan touchpad, baru kemudian dapat bernavigasi dengan tombol “tab”. Untuk diketahui, penyandang tunanetra yang mengoperasikan perangkat komputer yang dilengkapi screen reader selalu bernavigasi dengan tombol-tombol pada keyboard , alih-alih touchpad atau mouse. Di samping kendala bernavigasi, ketika kita berpindah dengan tombol “tab” pada setiap kolom pengisian, title kolom tersebut tidak diberikan keterangan, sehingga kita tidak dapat mengetahui sedang berada pada kolom pengisian dengan judul apa.

Berikutnya, kegiatan mengunggah foto KTP dan swa-foto bersama KTP. Kegiatan ini ternyata cukup merepotkan bagi penyandang tunanetra. dalam pengambilan foto, mereka harus dibantu oleh orang awas. Belum lagi menentukan ukuran foto yang harus disesuaikan, yaitu maksimal 2 mb. Lalu ditambah dengan usaha mengunggah foto yang seringnya tidak berhasil pada percobaan pertama. Sebagai trik, ketika akan mengunggah foto yang telah disesuaikan ukuran file-nya, cobalah mengirimkannya ke WhatsApp, karena dengan mengirimkannya melalui WhatsApp, biasanya ukuran foto akan diperkecil secara otomatis. Berdasarkan pengalaman pribadi, cara ini berhasil dilakukan.

Langkah Keempat – Verifikasi Nomor Handphone

ilustrasi tangan seseorang memegang handphone

Tahap keempat program kartu prakerja dengan verifikasi nomor handphone

Di tahap ini, kita harus mengisi nomor handphone yang aktif. Setelah mengisi pada kolom nomor HP, kita bisa menekan link “kirimkan kode verifikasi”. SMS kode verifikasi akan dikirimkan ke nomor HP yang kita cantumkan dan kemudian kita bisa mengetikkan 6 digit angka di kolom kode verifikasi pada laman Kartu Prakerja. Kode verifikasi yang dikirimkan melalui SMS tersebut, memiliki batas waktu penggunaan selama 15 menit. 

Untuk pengisian verifikasi nomor HP dapat dilakukan secara mandiri oleh penyandang tunanetra. Dengan menggunakan perangkat laptop atau smartphone yang telah di-install software pembaca layar, tahap ini cukup aksesibel bagi tunanetra sama seperti pembuatan akun dan verifikasi KTP.

Langkah Kelima – Mengerjakan Tes

Tahap kelima pada Program Kartu Prakerja adalah mengerjakan tes. Tes ini terdiri dari 18 soal pilihan ganda dengan komposisi tes motivasi diri dan kemampuan dasar. Waktu pengerjaannya adalah 25 menit.

Dari segi aksesibilitas untuk penyandang tunanetra, banyak yang perlu dikoreksi dari tahap kelima program kartu prakerja ini. Pertama, terdapat soal-soal tes yang menyertakan keterangan tabel atau diagram batang. Soal-soal tersebut tidak terbaca oleh screen reader, sehingga penyandang tunanetra harus didampingi orang awas selama mengerjakan tes. 

Kedua, ketika kita memilih opsi jawaban dengan mencentang checkbox, kata “uncheck” pada kotak centang tidak berubah menjadi “check”. Padahal secara visual, jawaban yang kita pilih telah tercentang. Hal serupa juga terjadi pada bagian atas layar yang mencantumkan link-link urutan soal nomor 1 hingga 18. Fungsi link-link tersebut adalah untuk bernavigasi dan memberikan keterangan soal-soal yang sudah atau belum dikerjakan. Secara visual, link soal yang telah dikerjakan akan tercentang. Akan tetapi, lagi-lagi screen reader tidak membacakan tanda centang pada soal-soal tersebut, sehingga bagian ini juga tidak aksesibel bagi tunanetra. 

Poin terakhir adalah tidak adanya “heading” pada tampilan soal. Jika bernavigasi dengan screen reader, bagian paling atas adalah link-link soal, kemudian tampilan soal yang sedang dikerjakan beserta opsi jawabannya. Jika penyandang tunanetra menelusuri dari bagian atas tampilan ini, mereka harus melewati 18 baris link soal untuk menuju soal yang sedang dikerjakan. Dengan adanya “heading” pada soal yang sedang dikerjakan, maka penyandang tunanetra bisa melewati link-link soal dan langsung lompat ke soal yang akan dikerjakan.

Mendapatkan pekerjaan dan mengakses program pemerintah seperti Kartu Prakerja merupakan hak semua WNI, termasuk penyandang tunanetra. Oleh karenanya, segi aksesibilitas pada website program ini dan berbagai situs layanan publik lainnya wajib dipenuhi. Dengan adanya website layanan publik yang bisa diakses bagi tunanetra, maka diharapkan mereka juga mendapatkan akses informasi yang layak. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian bagi pemerintah di masa mendatang.

 

Ditulis oleh Juwita Maulida, VIP Talent Suarise

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
gambar pria menggunakan laptop

5 Hal yang Perlu Diketahui Tentang Cara Tunanetra Mengakses Internet

5029 3353 Juwita Maulida

Kemajuan pesat di bidang teknologi informasi merupakan salah satu pendukung kemandirian bagi VIP (visually impaired people) atau biasa dikenal dengan penyandang tunanetra. Selain komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak pembaca layar, internet juga menjadi kecanggihan teknologi yang dapat membantu VIP dalam kehidupannya sehari-hari. 

Dengan mengakses internet, penyandang tunanetra dapat melakukan berbagai hal secara mandiri, seperti membaca berita online, menonton video di Youtube, dan berjejaring sosial. Namun, yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara penyandang tunanetra mengakses internet? Bukankah VIP memiliki hambatan penglihatan sehingga tidak dapat menatap layar komputer, laptop atau smartphone? Berikut penjelasannya.

Ilustrasi laptop dan smartphone

Cara tunanetra mengakses internet lewat laptop dan smartphone adalah dengan menggunakan pembaca layar

 

1. Siapkan Perangkat Pendukung.

Agar VIP dapat mengakses internet, tentu diperlukan perangkat seperti komputer atau laptop. Tak hanya kedua perangkat tersebut. Ponsel pintar pun kini dapat dimanfaatkan VIP untuk mengakses internet. Pertanyaan selanjutnya, apakah diperlukan komputer, laptop atau smartphone khusus bagi penyandang tunanetra? Umumnya orang awam mengira bahwa perangkat yang digunakan VIP merupakan yang diciptakan khusus untuk mereka. Pendapat ini keliru, karena yang digunakan adalah perangkat yang sama dengan yang digunakan orang-orang umumnya, yang bisa dibeli di toko gawai biasa. Lalu, di mana letak perbedaannya? Cek poin berikut ini!

2. Software Pembaca Layar

Software pembaca layar atau screen reader inilah yang membedakan komputer dan laptop  yang digunakan oleh VIP dengan orang non-tunanetra/awas. Software pembaca layar ini bekerja dengan membacakan semua teks yang terpampang di layar perangkat. Jadi, meskipun VIP tak dapat melihat, mereka hanya perlu mendengarkan screen reader membacakan apa yang tertera di layar perangkat. Saat ini ada dua jenis software pembaca layar yang sering digunakan penyandang tunanetra di Indonesia, yakni JAWS (berbayar) dan NVDA (tidak berbayar). Keduanya dapat dipasang pada perangkat komputer dan laptop dengan sistem operasi Windows. Sedangkan untuk smartphone, pembaca layar telah tersedia tanpa perlu di-install. Para VIP pengguna smartphone hanya perlu mengaktifkannya di menu setting atau accessibility. Sebagai informasi, software pembaca layar pada Andorid disebut Talkback, sedangkan untuk perangkat Apple dikenal dengan nama Voice Over. Dengan bantuan piranti lunak pembaca layar, para VIP bisa mengakses internet, bekerja, atau meng-update status di akun media sosial.

Contoh penggunaan Google Forms dengan Pembaca Layar

Tonton juga: Tunanetra pesan ojol, mana yang lebih mudah diakses?

3. Keyboard untuk Bernavigasi

Ketika mengoperasikan komputer atau laptop, umumnya orang akan menggunakan mouse atau touchpad. Hal ini tidak berlaku bagi VIP. Alih-alih menggunakan mouse untuk bernavigasi mengakses dunia internet, penyandang tunanetra menggunakan keyboard komputer. Karena keterbatasan penglihatan, tentu saja sulit bagi seorang tunanetra untuk menentukan letak kursor dan mengeklik menu yang diinginkan. Keyboard pada komputer atau laptop menjadi solusi bagi para VIP untuk menjelajahi halaman-halaman di internet. 

Tonton juga: #KamisKeyboard Website Lowongan Kerja ini Belum Akses bagi Tunanetra!

Lalu, bagaimana dengan layar sentuh pada smartphone? Pada dasarnya navigasi pada smartphone tidak jauh berbeda antara pengguna yang tunanetra dan orang awas. Poin penting yang membedakan adalah konsep “double tap” atau ketuk dua kali untuk membuka menu dan fokus pembaca layar hanya pada  satu menu yang ditunjukkan kursor. Untuk mengetik, rata-rata VIP yang mahir mengoperasikan komputer, laptop dan smartphone telah menghafal letak dan susunan keyboard. Di samping itu, untuk menguasai navigasi keyboard ini, VIP biasanya harus mengikuti kursus komputer bicara atau mengetik sepuluh jari terlebih dahulu.

seorang pria tunanetra mengakses Google Form di depan laptop

Peserta Suarise tengah mengisi Post Test menggunakan Google Form (Doc. Suarise)

4. Shortcut Untuk Menjelajahi Internet

Setelah ketiga poin sebelumnya terpenuhi, ada tantangan berikutnya yang harus ditaklukkan oleh VIP, yaitu menjelajahi internet. Jika orang awas dapat melihat halaman di internet pada satu layar penuh dan kemudian menggerakkan kursor menuju link yang diinginkan, tidak begitu halnya dengan VIP. Mereka harus sabar menelusuri satu per satu heading, content, dan link-link untuk mendapatkan informasi yang dicari. Tentu saja ini cukup memakan waktu. Oleh karenanya, software pembaca layar memiliki shortcut atau jalan pintas yang bisa dihafalkan oleh VIP agar memudahkan penelusuran halaman internet. Beruntung, menu shortcut pada screen reader hampir serupa satu sama lain, jadi memungkinkan semua tunanetra mengoperasikan perangkat komputer berganti-ganti tanpa harus mempelajari ulang cara penggunaannya. Contoh shortcut yang sering digunakan VIP untuk menelusuri halaman di internet adalah tombol “h” untuk berpindah antar judul (heading), huruf “b” untuk menuju ke menu button, huruf “e” untuk mencari kolom pencarian dan huruf “k” untuk menelusuri link.

5. Keterbatasan Mengenali Gambar

Kecanggihan teknologi memang dapat membuat VIP mengakses internet secara mandiri, tetapi tetap saja ada beberapa hal yang masih terbatas untuk diakses penyandang tunanetra, seperti mengenali grafik, foto, dan gambar. Kemampuan screen reader saat ini hanya dapat membacakan informasi berbentuk teks. Hal ini membuat para VIP tetap harus bertanya pada orang non-tunanetra untuk mengetahui gambar apa yang ada pada halaman yang sedang dibacanya. Untungnya, ada fitur alt-text yang membantu penyandang tunanetra memahami konteks pada gambar. Fitur ini berfungsi memberikan deskripsi tentang gambar terkait. Fitur teks alternatif ini telah tersedia pada beberapa media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Untuk halaman web di internet pun, keterangan gambar juga dapat ditambahkan ketika sebelum diunggah.

Baca juga Cara Mengaktifkan Pembaca Layar di Iphone/iPad

Nah, demikianlah penjelasan singkat tentang bagaimana penyandang tunanetra atau VIP dapat mengoperasikan komputer dan mengakses internet. Pesatnya kemajuan teknologi telah memberikan banyak  kemudahan bagi setiap orang, tak terkecuali mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan. Penguasaan teknologi tersebut juga menjadikan para penyandang tunanetra lebih mandiri, produktif dan mampu bekerja layaknya orang non-tunanetra.

 

Ditulis oleh Juwita Maulida Rahmawati, VIP Talent Suarise

Cek portfolio tulisan Juwita di talents.suarise.com

 

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
Google form logo

Tutorial Google Forms dengan Screen Reader

840 834 Rahma Utami

Berikut ini adalah panduan penggunaan Google forms dan cara mengaksesnya dengan menggunakan screen reader untuk teman-teman tunanetra dan low vision. Contoh Google forms yang bisa digunakan ada di link Survey Aksesibilitas Digital di Indonesia. 

Google Forms digunakan sehari-hari di Training Suarise sejak 2018 untuk post test setiap pertemuan dan untuk mengkoordinasi pekerjaan jarak jauh. Kompetensi penggunaan Google Forms untuk screen reader sangat menunjang untuk melakukan #KerjaDariRumah alias #WorkFromHome, maupun untuk riset.

Hal-hal yang harus diperhatikan di Google Form

Sebelum memulai tutorial, ada lima hal perlu diperhatikan terkait Google Forms:

  1. Google Forms dapat diakses melalui komputer maupun smartphone/telepon seluler apapun yang berbasis Android dan iOS (Apple).
  2. Google Forms tidak menyimpan proses, artinya, pengisian Google forms harus dilakukan dalam sekali jalan atau dalam satu waktu sekaligus. Jika tidak sengaja refresh halaman (bukan menekan tombol lanjutan di dalam form), maka hampir dipastikan jawaban yang telah diisi sebelumnya hilang dan harus diisi ulang. Namun jika halaman loading setelah tombol ‘selanjutnya’ atau ‘next’ ditekan, maka tidak usah khawatir.
  3. Beberapa Google Forms bisa langsung diisi tanpa login email, beberapa harus login gmail, atau input email terlebih dahulu. Google forms yang digunakan di tulisan ini tidak membutuhkan log in apapun.
  4. Pertanyaan di Google Forms bisa berupa pertanyaan yang tidak wajib (boleh dijawab boleh tidak) dan pertanyaan wajib (required question). Jika terdapat pertanyaan yang wajib dijawab, maka artinya poin ini wajib diisi. Jika tidak, meski tombol selanjutnya ditekan, atau tombol submit/kirimkan ditekan, maka tidak akan bisa diproses. Pengisi harus cek seluruh pertanyaan apakah sudah dijawab atau belum.
  5. Google Forms sangat bersahabat dengan screen reader. Oleh karena itu, halamannya bisa diakses dengan berbagai metode, baik secara gestur linear (swipe/usap kiri kanan), maupun dengan shortcut (pintasan) seperti headline, link, control, dll.

Catatan, tutorial ini hanya menggunakan 3 jenis fitur untuk input jawaban pertanyaan dari banyak fitur Google Forms yang disediakan. Fitur-fitur yang digunakan adalah pilihan ganda, ceklis, dan isian. Sebagian besar tutorial ini untuk mengakses Google Forms melalui ponsel, namun diterangkan pula tentang penjelasan elemennya, sehingga untuk yang mengakses Google Form melalui komputer, silakan menyesuaikan kunci shortcut nya atau pintasannya.

Cara mengakses Google Forms dengan Screen Reader

Silakan buka Survey Aksesibilitas Digital di Indonesia pada tab terpisah atau pada handphone sambil membaca tutorial ini. Setelah Google Forms dibuka, biasanya terdapat instruksi awal terkait isi survey atau kuesioner. Silakan dibaca lalu lanjutkan ke bagian selanjutnya.

Gestur yang sering digunakan di Google Forms

Google Forms dengan Talkback di Android:

Gunakan gestur screen reader biasa (swipe/usap layar), dan Local Context Menu atau Menu Konteks Lokal. Local Context Menu bisa diakses dengan dua cara. Pertama dengan menggerakan jari di layar dari bawah ke atas lalu ke kanan tanpa mengangkat jari. Pilih opsi yang sesuai. Kedua dengan menggerakan jari secara vertikal, baik geser ke atas ataupun ke bawah (bukan mendatar). Pilih yang sesuai.

Google Forms dengan VoiceOver di Apple:

Gunakan gestur screen reader biasa (swipe/usap layar),dan rotor. Rotor bisa diaktifkan dengan menaruh dua jari di permukaan layar lalu putar ke setting yang ingin dituju (berlawanan maupun searah jarum jam).

 

Tampilan Menu Konteks Local atau Local Context Menu Saat Google Forms diakses dengan Talkback Screenreader

Cara membaca ringkas/skimming pertanyaan

Skimming bisa dilakukan untuk mengetahui pertanyaan-pertanyaan apa saja dilakukan sehingga pengguna screen reader bisa terbayang secara utuh fungsi dari pertanyaan tersebut.

Setiap pertanyaan di Google Forms merupakan headline. Jadi navigasi atau shortcut terkait heading bisa digunakan, seperti:

Di TalkBack, bisa menggunakan ‘Local Context Menu’ alias ‘Menu Konteks Lokal’ lalu pilih ‘Headline’ atau ‘Judul’. Maka setiap swipe/usap layar, maka Talkback akan membaca pertanyaannya saja tanpa melalui kolom jawaban maupun tombol lainnya. Kembalikan ke pengaturan default jika sudah selesai skimming dan hendak mengisi pertanyaan.

Di VoiceOver, aktifkan rotor dan pilih ‘Headings’ (jika menggunakan Bahasa Inggris) atau ‘Judul’ (jika menggunakan Bahasa Indonesia) untuk skimming pertanyaan. Catatan: berdasarkan percobaan di beberapa device dan versi iOS, seringkali meski rotor Headings telah diaktifkan, iphone tetap membaca seluruh jenis teks, bukan hanya pertanyaan saja. Jika terjadi demikian, maka silakan mengakses form secara linear menggunakan gestur default.

Cara menjawab pertanyaan

Setiap komponen jawaban pada Google Forms adalah komponen interaktif, artinya dia pasti terhighlight jika menggunakan tombol Tab pada keyboard. Lebih jauh, setiap jawaban merupakan kategori ‘Control’; dengan demikian segala shortcut yang terkait navigasi kontrol bisa diterapkan.

Umumnya, screen reader akan membaca pilihan jawaban di Google Forms dengan urutan informasi tertentu.

Contoh baca oleh Talkback:
Urutan bacanya adalah: kondisinya, isi pilihannya, jenis komponennya, instruksi.

  1. Multiple choice atau pilihan ganda:
    • Bahasa Inggris: not ticked, Instagram, radio button, double tap to toggle.
    • Bahasa Indonesia: tidak dicentang, Instagram, tombol radio, ketuk dua kali untuk beralih.
  2. Tick box atau ceklis:
    • Bahasa Inggris: not ticked, Shopee, tick box, double tap to toggle.
    • Bahasa Indonesia: tidak dicentang, Instagram, kotak centang, ketuk dua kali untuk beralih.
  3. Edit box atau isian tulisan: Edit box, (menyebutkan ulang pertanyaannya), instruksi. Jika isian telah diisi, maka urutannya akan terdengar seperti berikut ini: Jawabannya, edit box, pertanyaannya. Untuk menjawab, pilih pilihan yang diinginkan, ketuk layar 2 kali, lalu ketik jawabannya.

Contoh baca oleh VoiceOver:
Urutan bacanya adalah: isi pilihannya, jenis komponennya, kondisinya, instruksi.

  1. Multiple choice atau pilihan ganda:
    • Bahasa Inggris: Instagram, radio button, unchecked, three of five (pilihan keberapa dari total pilihan yang tersedia),
    • Bahasa Indonesia: Instagram, tombol radio, tidak dicentang, satu dari tiga
  2. Check box box atau ceklis:
    • Bahasa Inggris: Shopee, check box, unchecked, double tap to toggle setting.
    • Bahasa Indonesia: Shopee, kotak centang, tidak dicentang, ketik dua kali untuk mengubah penampilan
  3. Edit box atau isian tulisan: (menyebutkan ulang pertanyaannya), text field (bidang teks), instruksi pertanyaan (jika ada), double tap to edit. Jika isian telah diisi, maka urutannya akan terdengar seperti berikut ini: (menyebutkan ulang pertanyaannya), text field, is editing, jkt, lalu membaca deskripsi pertanyaan. Untuk menjawab, pilih pilihan yang diinginkan, ketuk layar 2 kali, lalu ketik jawabannya.

Di TalkBack, bisa menggunakan ‘Local Context Menu’ lalu pilih ‘Control’ atau ‘Kontrol’. Maka setiap swipe/usap layar, maka Talkback akan membaca pilihan jawabannya, beserta kondisinya.

Untuk menjawab, pilih pilihan yang diinginkan, ketuk layar 2 kali. Tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

  1. Pilihan ganda.
    Hanya bisa input satu jawaban saja. Jadi jika jawaban di ganti atau mengetuk dua kali di jawaban yang lain di pertanyaan yang sama, maka jawaban sebelumnya akan hilang dan akan digantikan jawaban terbaru. Sebelum pindah pertanyaan, pastikan sudah memilih jawaban yang pas dengan pertanyaan.
  2. Tick box atau check box.
    Bisa memilih lebih dari satu jawaban. Jadi jika ketuk dua kali di beberapa tick box di pertanyaan yang sama, maka semuanya artinya adalah jawaban yang dipilih. Jika ada yang tidak ingin dipilih, maka bawa kursor ke jawaban yang tidak jadi, lalu ketuk dua kali lagi, hingga terdengar, “unticked, pilihan jawaban”.
  3. Isian (Text box atau text field).
    Isian atau edit box harus di ketuk 2 kali dahulu sebelum jawabannya diketik. Jika menggunakan keyboard dari Google, bisa juga menggunakan opsi Voice Typing, alias mengetik dengan suara. Caranya, cari di area keyboard opsi ‘Voice input’ (biasanya lokasinya di kanan atas ujung keyboard, di atas tombol P). Klik, lalu silakan bicara jawabannya pelan-pelan agar mesinnya bisa menangkap suara Anda. Jika sudah selesai, bisa menunggu sejenak hingga voice typingnya otomatis mati, atau ketuk ulang dua kali di bagian voice typing tersebut. Cek kembali jawabannya, karena kadang suka ada yg salah tangkap. Edit seperlunya.
  4. Pilihan ganda dengan isian.
    Jika memilih pilihan ‘Other’ atau ‘Lainnya’ (tergantung bahasa sistem yang Anda gunakan), maka diharapkan saat memilih opsi ini, Anda juga mengisi isian pendek yang ada setelahnya. Google forms akan otomatis mengarahkan kursor ke edit box/isian saat pilihan ‘other’ dipilih. Biasanya berbunyi “Edit box other response”

Cara mengakses halaman berikutnya atau bagian berikutnya

Umumnya terdapat 2 tombol navigasi di tiap halaman, kecuali halaman pertama dan halaman terakhir. Tombol ini adalah tombol back dan tombol Next. Keduanya akan dibaca oleh screen reader sebagai ‘button’. Tombol ini bisa diakses secara linear (swipe terus hingga ke bawah), atau menggunakan opsi ‘Control’.

Jangan gunakan opsi ‘Link’ untuk mencari tombol navigasi karena di Google forms, link diarahkan ke menu Google Forms yang tidak terkait dengan kuesioner dan link yang ada di dalam pertanyaan (jika ada). Contohnya adalah di halaman pertama dan halaman terakhir di dokumen Survey Aksesibilitas Digital di Indonesia. Di halaman pertama, terdapat link tautan ke halaman youtube dan artikel ini, maka opsi ‘Link’ akan juga mengumumkan bagian tersebut, tanpa dari tulisan di paragraf lainnya.

Halaman terakhir akan berisi 2 tombol: ‘back’ dan ‘submit’ (jika dengan bahasa Indonesia, tombol ‘kembali’ dan tombol ‘kirim’). Umumnya, kuesioner tidak memperkenankan responden untuk mengubah jawabannya jika tombol submit sudah ditekan, seperti pada contoh Survey yang digunakan. Namun, terkadang, pembuat survey juga bisa mengatur agar responden memiliki pilihan untuk mengubah jawaban mereka. Jika pilihan ini diaktifkan, maka di halaman terakhir dari Google Forms, akan ada setidaknya dua link di akhir paragraf penutup yaitu ‘Submit another response’ (Kirim tanggapan lain) dan ‘Edit your response’. Jika pilihan ini tidak diaktifkan, maka hanya akan ada satu link yaitu ‘Submit another response’.

Penutup

Untuk Survey Aksesibilitas Digital di Indonesia, tiap orang hanya input 1 kali respon saja. Jika terdapat kendala dalam menginput survey, Anda bisa bertanya ke talent-talent Suarise yang sudah terbiasa menggunakan Google Forms, atau kontak langsung ke sosial media Suarise di Facebook, Instagram, dan Twitter. Survey Aksesibilitas Digital di Indonesia dibuka hingga tanggal 10 Mei 2020.

Lebih jauh mengenai aksesibilitas produk-produk Google bisa ditemukan di halaman Google Accessibility. Selain Google, beberapa sosial media juga sudah semakin mudah diakses dengan menggunakan screen reader.

Selamat mengisi kuesioner!

Tampilan Google Forms Survey Aksesibilitas Digital di Indonesia

Tambahan

Transliterasi jika pengaturan perangkat atau gadget menggunakan bahasa Indonesia:

  • Headline: Judul
  • Tombol ‘Next’ : Berikutnya
  • Tombol ‘Back’: Kembali
  • Pilihan ‘other’: Yang lain
  • Mengisi edit box di other: Kotak edit, tanggapan lain
  • Pilihan Checkbox atau pilihan ganda:Tidak dicentang, (nama pilihannya), radio button atau cek box, ketuk dua kali untuk beralih
  • Link ‘Submit another response’: Kirim tanggapan lain

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Be My Eyes: Aplikasi untuk Meminjamkan Mata kepada Tunanetra

150 150 Rahma Utami

Sekarang mata kamu dapat dipinjamkan untuk teman-teman tunanetra hanya dengan mengunduh aplikasi Be My Eyes yang tersedia di platform Android maupun Apple, gratis! Loh kok mata bisa dipinjamkan? Bagaimana caranya? 

Be My Eyes adalah sebuah aplikasi berbasis apple dan android yang berfungsi untuk menghubungkan tunanetra di seluruh dunia dengan relawan untuk membantu melihat suatu hal di depan mereka (tunanetra). Meski hal-hal yang dilihat sederhana, hal ini berdampak sangat besar bagi teman-teman tunanetra. 

Salah satu permintaan yang paling sering didapatkan adalah melihat tanggal kadaluarsa makanan seperti susu. Hayo, bayangkan betapa besar dampak bantuan dari seorang relawan Be My Eyes dalam meminjamkan matanya sehingga yang bersangkutan tidak kena diare akibat meminum susu kadaluarsa. 

Konsep

Aplikasi seluler ini menghubungkan tuna netra dengan relawan melalui layanan video call yang tersedia di dalam aplikasi. Baik tunanetra maupun relawan harus mendaftarkan diri mereka dahulu sebelum menggunakan layanan aplikasi Be My Eyes

Be My Eyes mengusung konsep social-micro-volunteering, dimana relawan bisa berkontribusi dengan cara dan waktu yang paling nyaman bagi mereka di tengah kesibukan mereka. Hal ini dianggap sangat efisien secara waktu dan budget, karena relawan dapat meluangkan waktu untuk membantu teman-teman tunanetra tanpa pergi kemanapun. Para relawan senang sekali bisa berkontribusi.

Kelebihan aplikasi Be My Eyes

Banyak manfaat dalam menggunakan aplikasi Be My Eyes baik bagi pengguna tunanetra maupun relawan yang memiliki penglihatan awas.

  1. Tidak ada biaya dalam menggunakan layanan ini.
  2. Panggilan bantuan bisa dilakukan kapanpun, dari manapun (selama terhubung dengan paket data internet/wifi)
  3. Simpel, hanya dengan 1 klik untuk meminta bantuan/menerima panggilan

Beberapa testimoni terkait aplikasi Be My Eyes dari kalangan teman-teman tunanetra adalah dengan menggunakan aplikasi ini, mereka dapat menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih nyaman dari beberapa aspek.

  1. Kenyamanan.
    Teman teman tunanetra jadi tidak harus melulu menunggu orang menawarkan bantuan, ataupun meminta bantuan orang yang sama sehingga terasa memberatkan.
  2. Keamanan.
    Merasa aman karena aplikasi tersebut identitas tunanetra sifatnya anonim dan privasi mereka terjaga karena meski orang asing yang membantu mereka, relawan ini tidak secara nyata masuk ke dalam rumah.
    Selain itu, perasaan aman juga muncul karena orang-orang yang terdaftar adalah relawan yang memiliki tujuan yang sama: membantu teman-teman tunanetra. Hal ini penting karena terkadang, di ranah sosial media, tunanetra kerap dibully ataupun didiskreditkan. Adapun jika hal ini terjadi, pengguna Be My Eyes bisa melaporkan hal ini langsung kepada perusahaan melalui tombol report yang akan muncul bersamaan dengan tombol evaluasi lainnya saat panggilan berakhir.
  3. Efisien.
    Sebuah panggilan bantuan di Be My Eyes umumnya membutuhkan waktu 30 detik untuk mendapatkan respon (belum termasuk waktu penyelesaian solusi). Hal ini tentunya lebih efektif dibandingkan menunggu orang datang (apalagi kalo macet), atau jika sedang berada di luar rumah, seorang tunanetra bisa jadi tidak tahu apakah ada orang di sekitarnya.
  4. Perasaan Independen.
    Keleluasaan yang ditawarkan oleh Be My Eyes membuat teman-teman tunanetra memiliki asisten virtual tanpa perlu ada orang disamping. Jadi, teman-teman tunanetra bisa beraktivitas secara independen dan leluasa, dan memanggil relawan hanya pada saat tertentu saja. 
  5. Terhubung.
    Dibandingkan aplikasi lain yang menggunakan teknologi machine learning atau image recognition untuk mengidentifikasi item, Be My Eyes lebih terasa manusiawi. Selain deskripsi dan variasi hal yang dilihat mencakup lebih banyak hal dibandingkan aplikasi seperti taptapsee yang hanya bisa melihat barang dari jarak dekat saja. Selain itu, suara manusia terdengar lebih ramah dibandingkan suara robot ataupun teks yang dibunyikan via aplikasi screen reader.
    Selain faktor robot vs manusia, beberapa testimoni pengguna Be My Eyes juga mengatakan bahwa mereka tidak merasa kesepian, karena mereka tahu jika teman-teman tunanetra menjelajahi daerah baru, mereka bisa menghubungi relawan via Be My Eyes kapan saja. 

Menurut tim Suarise, pada akhirnya, teknologi yang baik adalah yang menghubungkan dan memanusiakan manusia dengan manusia lainnya. Setuju?

Sejak peluncurannya perdananya di  iphone tahun 2015, dan versi android di 2017, Be My Eyes kini memiliki lebih dari 2 juta relawan dan 300 ribu tunanetra dari seluruh dunia dan dapat diakses lebih dari 150 bahasa termasuk Bahasa Indonesia. Hingga saat ini, aplikasi ramah disabilitas ini telah menyabet 15 penghargaan, salah satunya adalah Google Play Award 2018. 

Bagi yang sudah mengunduh Be My Eyes, apa testimoni kalian? Sharing di kolom komentar ya 🙂

Untuk mengunduh aplikasi Be My Eyes, baik untuk menjadi relawan maupun pengguna, silakan klik pranala di bawah ini:

Download Aplikasi Be My Eyes di Appstore. 

Download Aplikasi Be My Eyes di Google Play Store. 

 

Disarikan dari berbagai sumber.

Ditulis oleh Rahma Utami, Knowledge Director untuk Suarise.


Suarise adalah lembaga pelatihan bagi tunanetra yang mengajarkan kompetensi dan vokasi untuk berkarya di industri digital, terutama di bidang penulisan konten digital (digital content writing), seperti artikel, artikel ramah SEO, penulisan iklan online, serta pembuatan konten sosial media. 

Setiap perusahaan dan perorangan kini dapat merekrut tunanetra sebagai digital content writer. Tertarik untuk bekerja sama? Klik di sini untuk informasi lebih lanjut. 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

gambar all talents suarise batch 2

Suarise dan Mitra Netra Siapkan Tunanetra menjadi Ahli Digital Content Writing

2048 1152 Iin Kurniati

SUARISE, suatu perusahaan sosial mandiri telah menyelesaikan Pelatihan Digital Content Writing Siklus Kedua pada Minggu, 9 Desember 2018. Pelatihan ini merupakan upaya Suarise untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan visual impaired people – VIP  (tunanetra dan penyandang low-vision) melalui kecakapan digital, online, dan teknologi.

Dalam Pelatihan Digital Content Writing Siklus kedua, Suarise masih menggandeng Yayasan Mitra Netra selaku partner eksklusif. Seiring kelahiran internet dan media baru, pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas visual impaired people di bidang pendidikan. Selain itu, pelatihan ini  diharapkan dapat membuka dan memperluas lapangan kerja bagi visual impaired people dalam menghadapi era kemajuan digital. Tak hanya itu, pelatihan ini juga dimaksudkan sebagai upaya memberdayakan dan memastikan inklusivitas dan kesetaraan bagi penyadang disabilitas.

Pelatihan Digital Content Writing 

ilustrasi pelatihan digital content writing offline di yayasan Mitra Netra

Pelatihan Digital Content Writing bersama Suarise di Yayasan Mitra Netra

Digital Content Writing Training Siklus Kedua ini telah dilaksanakan mulai tanggal 5 Agustus 2018 hingga 9 Desember 2018 dengan 8 peserta dalam 18 sesi pertemuan. Metode pelatihan mengombinasikan pertemuan tatap muka (offline class) dan pertemuan jarak jauh melalui fasilitas e-learning (online class). Upaya ini berbeda dibandingkan siklus pertama (periode Februari – April 2018) yang fokus pada pertemuan tatap muka. Pada siklus sebelumnya, jumlah peserta terdiri dari 10 orang peserta dengan 16 sesi pelatihan yang bervariatif sesuai kurikulum yang disusun. 

Kurikulum sesi Pelatihan Digital Content Writing Siklus Kedua ini meliputi pertama pengenalan konten dalam digital marketing. Kedua, pelatihan kemampuan dasar digital content writing. Ketiga, simulasi dan praktek penulisan digital content writing secara langsung. Setiap akhir pelatihan, Suarise rutin melakukan evaluasi dan memberikan masukan bagi para peserta pelatihan untuk memastikan perkembangan kemampuan digital content writing yang dimiliki sesuai standar yang ditetapkan Suarise.

Selanjutnya, Suarise membantu untuk menutup kesenjangan keterampilan dengan mendukung pengajaran dan pendidikan mandiri. Suarise berupaya meningkatkan fleksibilitas bagi pekerja dan pengusaha dengan mengembangkan sistem kerja yang efisien. Disamping itu, Suarise turut memberdayakan peningkatan kualitas hidup VIP dengan mendistribusikan talent untuk proyek/perusahaan yang membutuhkan keterampilan digital spesifik.

ilustrasi kelas online

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

5 Pedoman Pembuatan Website Inklusif bagi Tunanetra untuk Pengembang Perangkat Lunak

150 150 Rahma Utami

Di era digital ini, internet menjadi sumber informasi yang sangat vital tak bagi masyarakat tak terkecuali tuna netra. Berbagai informasi bisa diakses kawan-kawan Tunanetra baik melalui komputer maupun perangkat seluler lainnya. Berselancar di dunia maya, baik mengakses berbagai website, melakukan pencarian melalui Google, mengakses dan update social media seperti twitter, Facebook, dan Instagram, dan ‘menonton’ Youtube merupakan hal biasa dilakukan sehari-hari untuk mendapatkan informasi terbaru. Rasanya, sebagian besar talent Suarise berselancar di dunia maya setiap hari! Tentunya, kawan-kawan tuna netra bisa mengakses informasi dari kanal-kanal yang sedikit banyak sudah menerapkan kaidah website inklusif, terlepas dari tinggi rendahnya tingkat aksesibilitas website yang bersangkutan.

Tentunya, segala informasi yang tersaji di website diterjemahkan oleh speech synthesizer/screen reader bawaan yang terdapat pada gawai mereka, ‘Voice Over’ untuk Apple, ataupun JAWS dan NVDA untuk Windows. Meskipun demikian, tantangan terbesar bagi kawan-kawan tunanetra untuk mengakses informasi adalah jika websitenya tidak terlalu aksesibel. Jika aksesibilitas website dioptimalkan, tunanetra tidak harus terlalu bergantung pada buku braille yang tak hanya lama untuk diproduksi, namun juga mahal secara produksi, dan terbatas dalam distribusi. Akurasi dan kecepatan informasi ini sangat penting untuk akselerasi khasanah pengetahuan kawan-kawan tunanetra terutama untuk mendalami berbagai topik sesuai minat mereka.

5 prinsip website inklusif untuk mengoptimalkan aksesibilitas

Meski pedoman komperhensif untuk membuat website yang tingkat aksesibilitasnya tinggi terutama untuk tunanetra tersedia di WCAG, ada 5 prinsip sederhana website inklusif yang selalu bisa mulai diterapkan, terutama oleh rekan-rekan pengembang perangat lunak, terutama desainer dan developer, agar informasi di website dapat diakses dengan mudah oleh kawan-kawan tunanetra.

1. Hirarki Informasi

Hirarki informasi ini tidak melulu soal tulisan dari artikel, melainkan juga mencakup atribusi dan peletakan tombol action. Hirarki ini mempermudah speech sythesizer/screen reader untuk membaca informasi di website secara terorganisir, membantu kawan-kawan tunanetra dalam mengkategorikan konten yang sedang mereka dengarkan, dan menjadi navigasi selama dalam website maupun halaman yang sedang diakses. Coba dengarkan rekaman di bawah ini deh untuk hasil tulisan yang hirarki informasinya mempermudah tunanetra dalam membaca.

1.1 Tetapkan struktur Heading

Umumnya sebuah website bisa memiliki hingga 6 jenis heading. Penting untuk mengorganisir mana heading yang berdiri sendiri, mana yang repetitive. Heading 1 (H1) contohnya, hanya untuk hal yang paling penting, yaitu judul. Sangat tidak disarankan menggunakan heading 1 lebih dari satu kali. Heading 2 dan seterusnya bisa di ulang secara sistematis tergantung informasi yang dijabarkan.
Sebagai tambahan, level dari heading tidak sama dengan ukuran teks–meski pada beberapa kondisi, seperti website dari penyedia layanan website seperti wix, wordpress maupun lainnya, setiap level heading sudah memiliki pendekatan visual masing-masing termasuk ukuran huruf. Tapi jika development dari scratch, level tidak ada hubungannya dengan besarnya huruf.
Hal yang penting adalah hindari memiliki struktur heading yang lompat (misal dari H2 lalu H4) karena ini berpotensi membingungkan dalam navigasi informasi website tersebut.

Terutama untuk rekan-rekan developer, cek simulasi heading untuk HTML 5 di link berikut: http://accessiblehtmlheadings.com/

1.2 Jangan mengandalkan styling visual

            Speech sythesizer/screen reader tidak membaca styling sehingga kawan-kawan tunanetra, terutama yang total, tidak mengidentifikasi jika tulisan tersebut terlihat sebagai sub judul, bold, ukurannya lebih besar, ataupun italic. Adapun styling visual ini melengkapi fungsi aesthetic dari heading marking. Cek rekaman di bawah ini untuk mengetahui bagaimana poin ini dibaca­; contoh menggunakan voice over di Apple.

1.3 Heading bisa tersembunyi

2. Selalu lengkapi ALT-Text

Alternative text adalah komponen mahapenting nomer dua setelah heading dalam menerapkan aksesibilitas website. Hal ini dikarenakan speech sythesizer/screen reader tidak bisa mendeskripsikan gambar. Berikut ini contoh gambar dengan dan tanpa alt teks.

Alt text ini tidak hanya diterapkan pada foto tapi pada elemen visual apapun. Jika ada lebih dari satu elemen visual (foto, ilustrasi, infografis, tombol, icon, symbol) ada baiknya menggunakan kata penunjuk kategori visual tersebut agar mempermudah mengidentifikasi.

3. Pemilihan Redaksi Kata (Copywriting)

Dalam membuat copywriting, terutama untuk gambar, selalu lakukan pertimbangan dengan mengacu ke tujuh pertanyaan berikut:

  • Informasi penting apa yang harus disampaikan dan apa tujuan informasi tersebut ada, baik itu tulisan maupun gambar?
  • Apa atau siapa fokus pada gambar tersebut?
  • Sepenting apa setting atau lokasi?
  • 2E: Adakah ekspresi dan emosi yang terlihat dan penting untuk disampaikan
  • Apakah warna penting untuk dijelaskan?
  • Apakah subjek atau objek di dalam gambar tersebut sedang melakukan aksi?
  • Adakah konteks dari gambar tersebut untuk dijelaskan?

3.1 Deskriptif

Jabarkan informasi secara deskriptif. Maksud deskriptif disini bukan melulu soal visual, tapi mengarahkan dan membantu ekspektasi membaca. Sebagai contoh, di Suarise, kami menghindari menggunakan kata “beberapa”. Alih-alih menggunakan kata tersebut, kami langsung menyebut jumlah atau kuantitasnya. Jadi, hindari menulis “ada beberapa hal yang harus dihindari…”, dan tulislah “ada 6 hal yang harus dihindari…”

Begitu pula dalam membuat deskripsi elemen visual berupa caption maupun Alt-Text. Jangan terlalu simpel, jangan pula terlalu panjang. Berapa banyak idealnya? Tidak ada kaidah tetap, selama alt teks tersebut ringkas dan concise. Kami dari Suarise menyarankan setidaknya 80 karakter atau jangan lebih banyak dari limitasi karakter di twitter 😉 Jangan lupa mencantumkan kategori dari elemen visual tersebut (foto, gambar, ilustrasi, desain, logo, symbol, icon, dll)

3.2 Instruksional

Redaksi yang sifatnya instruksional menjadi penting terutama bagi elemen visual yang memiliki action call­–bisa di klik, bertujuan mengarah pada halaman website tertentu, ataupun mengarahkan ke aksi selanjutnya. Biasanya visual yang memiliki action call, alt teks-nya berisi 2 kalimat: kalimat pertama sifatnya deskriptif, kalimat kedua sifatnya instruksional.

Sebagai contoh, rekaman selanjutnya ini akan membaca layout diantara kalimat ini dengan rekaman tersebut.

 

3.3 Batasi animasi, dan hindari parallax scrolling

3.4 Kontras Warna 4,5:1

Sekilas mungkin terdengar membingungkan, kok aksesibilitas tunanetra membahas warna. Perlu diketahui, kawan-kawan tunanetra ada yg mengalami gangguan penglihatan total ada pula yang parsial (sebagian). Kontras dibutuhkan agar para tunanetra parsial bisa langsung mendeteksi pembagian halaman website dan yang paling penting identifikasi tombol action pada website tersebut.

Kontras ini juga bisa disebut luminance, dan untuk menghitung ini, kita harus menggunakan koefisien RGB. Nilai ini harus dibandingkan antar 2 warna, yaitu warna foreground dan warna background. Bingung? Jangan sedih. Penulis juga sempat bingung. Untuk mendemonstrasikan hal ini, penulis telah berkonsultasi ke senior software engineer, Didiet Noor agar hal ini lebih mudah dipahami yang terangkum dalam percakapan berikut ini:

Simulasi cara menghitung kontras warna 4,5:1 untuk aksesibilitas website melalui percakapan whatsapp

Salah satu tips yang bisa diterapkan dalam mendesain website yang aksesibel bagi tunanetra adalah dengan berpedoman pada mobile first alias desain dan struktur dibuat untuk pengguna telepon genggam atau gawai seluler lainnya.

BONUS untuk pebisnis yang menerapkan website inklusif:
Website yang ramah bagi tuna netra sudah pasti memiliki performa dan usability yang tinggi. Salah satu yang diungkapkan oleh Sami Keijonen adalah dengan poin-poin aksesibilitas website cukup banyak yang overlapping dengan SEO. Dengan demikian, dengan menerapkan website inklusif berarti juga mendongkrak SEO score website tersebut.

Bulan depan, Suarise membahas cara dan tools-tools apa saja yang bisa membantu untuk mengecek tingkat aksesibilitas website yang sudah dibuat. Stay tune ya!

Lebih jauh tentang aksesibilitas website, silakan telusuri tautan berikut ini:


Artikel ini adalah bagian dari upaya Suarise untuk membangun ekosistem digital di Indonesia menjadi 100persenAksesibilitas. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gerakan ini,

Ikuti tagar #BisaDiAkses di instagram dan akun instagram @tantanganAksesibilitas, 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Kesetaraan Hak bagi Tunanetra

150 150 Iin Kurniati
tunenetra menggunakan smartphone untuk tentukan arah jalan

Seorang tunanetra memanfaatkan smartphone dalam kehidupannya

Tidak ada manusia yang sempurna baik secara fisik maupun kemampuan. Dalam setiap kekurangan, pasti ada kelebihan di dalamnya, termasuk bagi teman-teman tunanetra. Hal ini pula yang menjadikan tunanetra memiliki kesetaraan hak di bidang hukum serta berbagai sendi kehidupan lainnya. Kesetaraan ini juga meliputi hak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak serta dalam berekspresi, berkomunikasi, serta memperoleh informasi di era digital.

Berdasarkan data Susenas seperti dikutip dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan tahun 2014, tunanetra merupakan jenis disabilitas terbesar di Indonesia. Sekitar 29,63% dari total distribusi penyandang disabilitas ialah tunanetra. Total penyandang disabilitas di Indonesia sendiri mencapai 2.45% dari total penduduk di Indonesia.

Kesetaraan tunanetra di mata hukum

Secara internasional, kesetaraan hak disabilitas, termasuk tunanetra diatur dalam konvensi PBB yaitu Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Sejak dirumuskan tahun 2006 Indonesia baru resmi menandatanganinya setahun kemudian. Indonesia sendiri menjadi negara ke-9 yang menandatangani konvensi ini diantara 82 negara pada tahun 2007. Namun Indonesia baru meratifikasi CRPD empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2011.

CRPD menjelaskan prinsip dasar dan sikap yang seharusnya dilakukan terhadap penyandang disabilitas. Prinsip dan sikap tersebut yaitu menghormati martabat manusia dengan keterbatasan yang dimiliki, dan bersikap non-diskriminasi. Selanjutnya, menerima dan memberi kesempatan kaum difabel untuk berpartisipasi dalam masyarakat, dan kesetaraan hak di lingkungan masyarakat. Berikutnya terkait permasalahan hak pendidikan dan pekerjaan secara internasional diatur dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Sebagai informasi, konvensi yang dirumuskan pada tahun 1966 ini baru diratifikasi Indonesia tahun 2006 silam.

Di Indonesia, sendiri kini Kesetaraan hak di bidang hukum bagi Hak-hak kaum difabel, termasuk tunanetra dilindungi dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Disabilitas. Salah satu diantaranya yakni pada pasal 5 ayat 1 huruf e dan f dinyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak pendidikan, pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi.

Dalam regulasi itu, di pasal 53 juga disebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja, Sementara Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.

Kesetaraan hak bagi difabel termasuk tunanetra juga disebutkan dalam pasal Pasal 24 Huruf B dalam hak untuk berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi. Kesetaraan hak itu meliputi hak: a) memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat; b) mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses; dan c) menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi.

 

Tunanetra Jago Digital

Berbagai regulasi itu sejatinya akan memudahkan para penyandang disabilitas, khususnya tunanetra baik dalam hal pendidikan, hingga mendapat pekerjaan. Sayangnya, belum ada data pasti sudah berapa banyak perusahaan maupun instansi pemerintah yang telah merealisasikan kewajiban tersebut.

Aksesibilitas infrastruktur kerap menjadi faktor utama sebuah perusahaan atau instansi pemerintah masih enggan menerima tunanetra sebagai pekerja.. Akibatnya, jenis pekerjaan tunanetra dan penderita low vision terbatas menjadi tukang pijit, admin kantor, teknisi, tukang batu, petani, penjual sapu/kemoceng/pulsa, loper koran, teknisi komputer, montir, penambal ban, dan sejumlah pekerjaan yang jauh dari dunia digital.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat tidak memandang sebelah mata penyandang tuna netra. Inilah saatnya memberikan kesempatan bagi tuna netra ikut serta dalam perkembangan dunia digital. Bila aksesibilitas infrastruktur yang dijadikan alasan tidak menggunakan kemampuan tunanetra, tunanetra yang mandiri akan menjadi satu kelebihan tersendiri bagi para pelaku usaha untuk dapat memanfaatkan kemampuan mereka.

tampilan blog saat menambah post terbaru

Tampilan blog

Salah satu entitas yang berupaya meningkatkan kemampuan tunanetra di bidang digital ialah Suarise. Kami hadir meningkatkan kemampuan dan keterampilan visual impaired people – VIP  (tunanetra dan penyandang low-vision) melalui kecakapan digital, online, dan teknologi dalam bentuk Pelatihan Digital Content Writing.

Pelatihan ini akan membantu menutup kesenjangan keterampilan dengan mendukung pengajaran dan pendidikan mandiri. Pelatihan ini juga bisa meningkatkan fleksibilitas bagi pekerja dan pengusaha dengan mengembangkan sistem kerja yang efisien, dan efektif. Selain itu, bisa memberdayakan peningkatan kualitas hidup VIP dengan mendistribusikan talent untuk proyek/perusahaan yang membutuhkan keterampilan digital spesifik.

Akhirnya, dengan memberikan kepercayaan bagi tunanetra, mereka akan dapat menciptakan lebih banyak karya dan kreativitas khususnya di bidang digital. Pada akhirnya diharapkan terhapus stigma bahwa tuna netra tidak bisa masuk dunia digital. Sebaliknya, tunanetra harus maju, tunanetra juga bisa jago digital bahkan bisa memiliki kesetaraan hak.

 

Ditulis oleh Iin Kurniati, Public Relation untuk Suarise.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Alt Teks: Aksesibilitas Media Sosial untuk Pengguna Tunanetra

150 150 Theresia Suganda

Fitur Alt-teks di Instagram

Pada akhir November 2018 lalu, Instagram mengumumkan dua peningkatan baru untuk mempermudah orang-orang tunanetra atau dengan gangguan visual menggunakan Instagram. Pembaruan pertama ialah pengadaan teks alternatif (alt text) otomatis sehingga pengguna dapat mendengarkan deskripsi foto melalui teknologi pembaca layar (screen reader). Fitur ini menggunakan teknologi pengenalan objek untuk membacakan daftar benda yang mungkin terkandung di dalam foto. Pembaruan kedua ialah pengadaan kustomisasi teks alternatif sehingga pengguna dapat menambahkan deskripsi foto yang lebih kaya.

Manfaat Pembaruan Instagram Bagi Tunanetra

Alt text otomatis sebenarnya sudah cukup baik. Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) sudah mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk generik yang terlihat jelas pada foto. Misalnya, bentuk-bentuk generik seperti manusia, bangunan, dan langit. Hanya saja, (saat tulisan ini dibuat) teknologi tersebut masih belum dapat membaca bentuk-bentuk gambar di luar foto, seperti komik, e-poster, atau infografik.

gambar tahapan pengaturan lanjutan instagram untuk memberi keterangan gambar

Pengaturan lanjutan instagram untuk memudahkan tunanetra membaca bentuk gambar (foto: net)

Sementara itu, fitur kustomisasi alt text tersedia pada pengaturan lanjutan (advanced setting). Pengguna dapat memilih menu Write Alt Text, mengisi deskripsi, lalu menyimpannya. Pengguna juga dapat menyunting foto-foto yang sudah terkirim dan menambahkan alt text. Instagram membatasi alt text pada 100 karakter untuk mengajak pengguna berpikir dan tidak sekadar menyalin tempel (copy and paste) caption ke dalam deskripsi foto.

Seminggu setelah fitur ini hadir, saya dan Ega, salah satu peserta pelatihan Digital Content Writing yang diadakan Suarise, mengadakan uji coba penggunaan fitur. Saya menguji kustomisasi alt text dan Ega menguji keterbacaannya pada screen reader. Hasilnya buat kami berdua memuaskan. Saya jadi punya ruang untuk mendeskripsikan isi foto lebih dari sekadar menggambarkan konten foto tetapi juga memberi konteks. Dari sisi pengguna tunanetra, Ega mengalami perjalanan pengguna (user journey) yang lebih singkat untuk mendapatkan pesan dalam kiriman foto. Ega menggambarkan, tanpa alt text, yang dia dapatkan adalah sekadar keterangan (caption) foto. Caption tersebut kadang terpotong atau kadang tidak menjelaskan dengan detail konteks di dalam foto. Misalnya, pada foto secangkir kopi yang diberi caption “Selamat pagi!”. Sementara itu, dengan alt text, dia mendapatkan konteks pesan yang lebih menyeluruh lewat deskripsi gambar dan caption. Misalnya, dengan deskripsi foto “secangkir kopi di pagi hari” dan caption “Selamat pagi!”.

Tonton Bagaimana Screen Reader membaca Instagram

Bandingkan dengan kita yang awas. Hanya dengan melihat foto, kita sudah mendapatkan konteks pesan keseluruhan kiriman, bahkan sebelum kita membaca caption (dan komen-komen) lebih lanjut. Keberadaan alt text tidak hanya memudahkan perjalanan bagi pengguna tunanetra, tetapi juga menjembatani perpindahan pesan dan makna dari satu pengguna ke pengguna lainnya.

ilustrasi media sosial dalam smartphone

Ilustrasi instagram pada smartphone (foto: net)

Kamu Content Creator? Yuk Ikut Membuat Instagram dan Sosial media semakin #BisaDiAkses!

Kesetaraan Akses Media Sosial untuk Tunanetra

Pengadaan fitur alt text otomatis dan kustomisasi alt text oleh Instagram merupakan salah satu upaya memberi kesetaraan akses bagi pengguna tunanetra atau dengan gangguan visual. Langkah ini bukan yang pertama dilakukan di ranah media sosial; fitur serupa sudah ada di Facebook dan Twitter sejak 2016. Di media digital secara umum aksesibilitas tidak berhenti di pengadaan alt text pada foto atau gambar saja. Aksesibilitas juga mengacu pada desain perangkat, produk, dan lingkungan. Hal ini dimaksudkan agar individu dengan disabilitas atau gangguan sensorik dapat berhasil menggunakan perangkat atau produk.

Kesetaraan aksesibilitas media sosial untuk pengguna tunanetra menjadi isu yang semakin relevan mengingat semakin berkembangnya penggunaan media sosial. Menurut Global Digital 2019 Reports yang dirangkum oleh WeAreSocial dan Hootsuite, pengguna aktif media sosial di Indonesia sudah mencapai 56% dari total populasi. Dalam angka tersebut termasuk teman-teman pengguna tunanetra atau dengan gangguan visual yang juga menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi.

Inklusi dengan menyediakan akses media sosial yang setara adalah solusi saling menguntungkan bagi pengguna tunanetra atau dengan gangguan visual dan pengguna awas, yaitu untuk transfer informasi dan pengetahuan secara dua arah. Fitur aksesibilitas seperti alt text bisa jadi kesempatan bagi Anda, yang selama ini fokus ke estetika konten visual, untuk menjangkau pengguna tunanetra yang bisa jadi adalah sasaran komunikasi Anda juga.

Ditulis oleh Theresia Suganda, Project Manager untuk Suarise.

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Liputan Kollaborasi 18 dan Talkshow Inspiratif: Berkarya Tanpa Batas di Era Digital bagi Difabel

150 150 suarise

Tanggal 14 Februari 2018 lalu, tim Suarise berkesempatan mengunjungi Kollaborasi 18, sebuah event yang diselenggarakan Kolla Coworking Space (atau sering juga disebut Kolla Nomad) yang berlokasi di Jalan Sabang, Jakarta Pusat. Acara ini terbagi menjadi 3 rangkaian hari, yaitu pada tanggal 2, 14 dan 24 Februari 2018. 

Apa sih Kollaborasi 18?

Kollaborasi 18 mengangkat isu disabilitas dan bagaimana peran digital dalam proses inklusi dan peningkatan kesejahteraan teman-teman difabel dari berbagai sektor. Acara ini mengangkat berbagai karya dari teman-teman difabel: lukisan, kerajinan tangan, makanan, panggung musik perkusi, bioskop bisik, pelatihan coding, hingga talkshow. Pengunjung juga dapat membeli karya teman-teman diffabel di Pasar Kolla.

Sesi yang tim suarise hadiri adalah Talkshow Inspiratif: Berkarya Tanpa Batas di Era Digital bagi Difabel. Sharing ini di moderatori oleh Kolla Nomad dengan menghadirkan narasumber dengan berbagai latar belakang disabilitas dan skill yang dimiliki, seperti Art Rodhi dan Indra Surya Hutapea yang mewakili teman-teman tuna daksa, serta Nicky Claraentia sebagai perwakilan dari thisable enterpirse. Sharing ini dihadiri berbagai kalangan, baik dari pers, komunitas, dan bisa dibilang seluruh lapisan diffabel, dari tuna netra, tuna daksa, tuna rungu, dan lain-lain.

Selain teman-teman difabel, talkshow Kollaborasi 18 ini juga mengundang CTO dari Tunemap, Mahdan Muqatirullah yang datang langsung dari Bandung sebagai salah satu aplikasi karya anak bangsa yang membantu teman-teman tuna netra untuk berjalan. Pada talkshow ini, masing-masing narasumber berbagi bagaimana awalnya digital membantu mereka untuk berkarya seperti saat ini, hambatan, dan harapan agar kedepannya teman teman difabel semakin berkarya di era digital.

Art Rodhi: Pelukis dan Founder theable art

Sebagai seorang tuna daksa yang baru memulai melukis pada saat masih terbaring di tempat tidur, Rodhi mendapatkan mentor dan bantuan untuk membuat karyanya semakin bagus melalui jejaring Facebook. Melalui sosial media juga, Rodhi akhirnya bisa menjual karya-karya lukisannya dan akhirnya bekerja sama dalam menjual merchandise yang menggunakan lukisan karya Rodhi dan teman-teman difabel lainnya untuk dijual melalui theable art.

Indra Surya Hutapea: SEO Specialist

Indra berprofesi sebagai freelance SEO Specialist karena berbagai kantor menolak untuk menerima dikarenakan kondisi fisiknya yang seorang tuna daksa. Akhirnya, dengan berbekal menjadi member berbagai situs freelance, Indra kini bisa bekerja dari rumah dengan bermodalkan komputer dan internet.

Nicky Claraentia: Head of Business Development Thisable Enterprise

Sebagai Head of BD di thisable Enterprise, Mbak Nicky–begitu dia disapa– juga merupakan penyandang tuna daksa yang menggunakan kaki palsu dalam kesehariannya. Nicky menyatakan bahwa masyarakat luas masih butuh edukasi tentang apa saja lingkup disabilitas–karena seringkali yang dianggap diffabel adalah mereka yang menggunakan kursi roda atau tongkat saja.

Dalam sesi ini juga Nicky menceritakan beberapa keberhasilan thisable dalam mengakomodir kerjasama dengan perusahaan-perusahaan untuk menyerap tenaga kerja diffabel. Salah satunya adalah Go-jek yang menggunakan banyak teman-teman tuna rungu ataupun tuna wicara untuk mitra salah satu produk Go-Jek yaitu Go-Auto.

Tune Map: Peta Bicara Bagi Tuna Netra

Tune map adalah aplikasi ponsel berbasis android yang membantu teman-teman tuna netra menyusuri trotoar dan jalanan pada umumnya. Tune map membantu menginformasikan kondisi trotoar yang seringkali tidak ideal untuk dilalui tuna netra. Pengumpulan data ini dilakukan dengan metode crowd sourcing dari masyarakat yang menjadi volunteer. Mahdan, CTO Tune map, berbagi proses pembuatan tune map dan bagaimana komunitas berperan penting dalam melengkapi data kondisi trotoar di Bandung.

Menurut teman-teman tuna netra, Tune map sangat intuitif user interfacenya sehingga sangat mudah digunakan. Aplikasi Tune Map ini bisa di unduh di Google Play .

Baca juga: Review User Experience Tune Map Yang Ramah Difabel

Suarise di Kollaborasi 18

Pada talkshow Kollaborasi 18 ini, Suarise sempat memperkenalkan diri sebagai wadah akselerasi kemampuan tuna netra untuk memiliki kemampuan terkait digital content writing. Selain itu, sedikit disinggung pula bagaimana Suarise membantu akses vip (visually impaired people) untuk mendapatkan project terkait skill yang nantinya mereka miliki.

Foto Bersama Penggiat Diffabel Tuna Netra di Kollaborasi 18

Foto bersama perwakilan tim suarise bersama sesama penggiat diffabel yang fokus di tuna netra di acara Kollaborasi 18. Kiri ke kanan: Rahmaut (Suarise), Machdan (Tune Map), Yudi (Pengajar coding di Mitra Netra)

Oiya, Suarise terbuka bagi seluruh tuna netra yang telah memiliki kemampuan mengoperasikan komputer. Mau tahu lebih jauh tentang suarise?

Subscribe  update dan beritanya di  ____

Follow kami di

Punya pertanyaan atau ingin bekerja sama? Jangan sungkan melayangkan email ke [email protected] atau melalui halaman ini. 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Disabilitas dan Meniti Solusi dari Digital Teknologi

150 150 suarise

Di hari disabilitas nasional ini, ada baiknya kita menelaah bagaimana teknologi menjadi jembatan utama penghubung dan mengkonversi dari keterbatasan akses, menjadi kelebihan kualitas yang menjadi latar belakang utama Suarise berdiri. Salah satunya adalah teknologi digital. Jika pada postingan sebelumnya telah dibahas berbagai screen reader, kali ini kami akan membahas mengenai implementasi inklusi digital teknologi dalam hal kesempatan akses.

Inklusi digital teknologi yang paling vital tapi masih sedikit sekali dilakukan khususnya di Indonesia adalah membuat website yang ramah untuk disabilitas, khususnya tuna netra. Sebetulnya, kuncinya adalah memahami “user journey” dan “user experience” tuna netra di sebuah website–yang sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yang mampu melihat pada umumnya– hanya saja ditambahkan detail-detail pada setiap link, tombol, gambar, bahkan emotikon. Atribut ini sangat penting agar speech sythesizer/screen reader mampu membaca website, selayaknya algoritma SEO membaca sebuah website tapi ini versi lebih deskriptif.

Salah satu contoh yang luar biasa adalah Facebook. Disamping akan ada support tambahan saat screen reader diaktifkan, Facebook juga memiliki atribut lengkap hingga setiap tombol, emotikon, bahkan gambar. Sebuah emotikon di kolom status update, bisa dibaca sebagai “face frowning half closed eye with sweat beside face”, dan sebuah gambar bisa “sedikit” dibaca ‘image with three face smiling’. Gak percaya? Cobain aja aktifkan langsung voice over ini, terutama bagi pengguna Apple Macintosh yang sudah menjadi software bawaan terintegrasi tanpa harus install ulang.

Custom journey tambahan langsung aktif saat voice over diaktifkan. Seperti yang terlihat pada gambar di bawah.

 

Pedoman aksesibilitas bagi penyandang disabilitas (accessibility) umumnya dimiliki oleh website-website besar. Beberapa tips bisa ditemukan di W3. Pembahasan aksesibilitas mengenai Facebook website juga dibahas di sebuah paper dari Carmit-Noa Shpigelman dan Carol J. Gill yang berjudul “Facebook Use by Persons with Disabilities∗” dan juga bisa dilihat di help center facebook.

Bagi developer, jangan anggap ini sebagai perintilan yang merepotkan, tapi anggap sebagai tantangan yang harus ditaklukan. Kalau merasa website atau aplikasi buatanmu sudah ramah bagi penyandang disabilitas khususnya tuna netra, boleh loh kirim ke kami untuk dibahas 😉

—–

Kedepannya, Suarise akan membuat artikel paling tidak sebulan sekali terkait aplikasi/website untuk mengevaluasi kadar aksesibiltasnya dengan fokus bagi pengguna tuna netra. Bagi kalian yang punya referensi website yang sangat ramah, boleh juga suggest ke tim kami untuk kami kupas tuntas.

 

 

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia