aksesibilitas

Suarise A11y Bootcamp Berhasil Tuai Antusiasme Positif

150 150 Iin Kurniati

Bulan Januari 2024 menjadi saksi keberhasilan Suarise dalam menyelenggarakan A11y Bootcamp perdana di Indonesia. Tidak kurang dari 400 praktisi teknologi dan konten dari berbagai daerah telah mendaftar, menciptakan gebrakan baru dalam pengembangan keterampilan industri.

Sebagai informasi Suarise A11y Bootcamp adalah program pelatihan intensif yang menyasar peningkatan skill dalam waktu singkat, biasanya berlangsung selama 2-6 bulan. Lantas, alasan kuat apa yang melandasi Suarise mengadakan A11y Bootcamp ini?

Alasan Suarise Menginisiasi A11y Bootcamp?

Screenshot suasana zoom Suarise A11y Bootcamp, terdapat moderator Rahma Utami (kiri atas) dan empat panelis, yaitu Briyan (tengah atas), Khamal (kanan atas), Rezky (kiri bawah), dan Ireisha (kanan bawah)

Pembukaan Suarise A11y Bootcamp menghadirkan empat panelis teman difabel yang menjelaskan urgensi aksesibilitas

Pada pertengahan tahun 2023, Indonesia terus menorehkan prestasi dalam pertumbuhan jumlah penduduk, mencapai puncaknya dengan angka menyentuh 278,69 juta jiwa, menurut data terkini yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Fenomena ini mencerminkan dinamika populasi yang terus berkembang dari tahun ke tahun.

Sejalan dengan pertumbuhan populasi, fokus terhadap kelompok yang memerlukan perhatian khusus, seperti penyandang disabilitas,  juga menjadi perhatian utama. Berdasarkan data BPS tahun 2020, terdapat 22,5 juta jiwa penyandang disabilitas di Indonesia, atau setara dengan sekitar 8% dari total populasi. Angka ini menarik perhatian karena sebanding dengan jumlah penduduk keseluruhan di benua Australia.

Pentingnya memahami dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat yang memiliki tantangan khusus menjadi semakin nyata seiring dengan pertumbuhan populasi. Melibatkan seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelompok disabilitas, dalam berbagai aspek kehidupan adalah langkah awal menuju masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

Urgensi aksesibilitas bagi penyandang disabilitas diakui dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas. Regulasi tersebut menegaskan hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan kemudahan aksesibilitas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya kemudahan akses di ranah digital.

Sayangnya, pemenuhan kemudahan akses digital bagi penyandang disabilitas masih belum mendapat dukungan optimal dari pemerintah, institusi, lembaga pendidikan, bahkan perusahaan. Keterbatasan informasi dan kurangnya edukasi terlihat dari kesulitan yang masih dialami penyandang disabilitas dalam mengakses situs web, perangkat lunak, aplikasi, media sosial, dan dokumen digital. Tantangan ini diakibatkan keterbatasan screen reader, kurangnya bahasa isyarat atau subtitle, serta desain yang belum memadai.

Mengingat pentingnya akses digital sebagai bentuk kesetaraan dan peluang yang sama, Suarise berkomitmen untuk berkontribusi pada perkembangan sumber daya manusia  yang berdedikasi di bidang teknologi dan digital. A11y Bootcamp Suarise, sebuah  bootcamp  yang disiapkan secara khhusus  bagi profesional  di bidang teknologi untuk mempelajari lebih jauh  mengenai bagaimana mewujudkan teknologi yang ramah aksebilitas bagi disabilitas.

 

Kenalan dengan A11y Bootcamp Suarise

Bootcamp Suarise merupakan workshop intensif  kelas hybrid (online dan offline) selama tiga bulan. Sebanyak 40  praktisi teknologi digital telah ikut bergabung  Bootcamp dengan berbagai latar belakang. Mulai dari UI/UX designer, UX  research  UX writer, Web and App developer yang tersebar dari berbagai kota di Indonesia, khususnya Jabodetabek, Yogyakarta, dan Malang. Misi dari A11y Bootcamp Suarise ini bertujuan mendorong  kolaborasi lintas  disiplin  antara profesional  penggiat teknologi  untuk menciptakan solusi  aksebilitas yang  lebih  holistik dan efektif, guna memahami sejauh mana  ineraksi  teman difabel  pada teknologi.

Perhelatan  ini kedepannya diisi oleh materi-materi eksklusif  dari team Suarise dan para trainer dengan berbagai fokus. Mulai dari mengenal dasar kebutuhan disabilitas di dunia digital hingga merancang  pengalaman pengguna yang ramah di akses  dengan mudah oleh teman disabilitas yang dipraktikan secara langsung oleh para peserta bersama teman disabilitas.

Dalam pembukaan A11y Bootcamp Suarise, beberapa sosok ahli  di sektor disabilitas turut berkontribusi dan menyampaikan insight  melalui sesi diskusi  dengan sederetan peserta yang hadir. Para panelis yang ikut serta menyumbangkan insight  antara lain Ireisha (Story writer) Autism Spectrum Disorder ,  Bryan Wahyu ( Back End Developer) – Cerebral Palsy, Khamal Nurdin (Mahasiswa) – Difabel Netra , M Rezky Achyana ( Executive Director The TamTam Therapy Centre).

Baca selengkapnya: Suarise Wujudkan Generasi Aksesibilitas melalui Accessibility Bootcamp 2024 – Suarise Indonesia

 

Peluang Teknologi Mudah Diakses Teman Disabilitas

tampilan website suarise yang menjelaskan A11yIDweb text: A11yID (baca: Aliaidi) adalah grup komunitas yang memiliki ketertarikan terhadap topik aksesibilitas digital (digital accessibility). Grup ini diperuntukan utamanya bagi mereka yang terlibat dalam pembuatan produk digital, seperti developer, desainer, UX desainer/researcher, UI desainer, product manager, dosen, dll. Diskusi dilakukan secara online, baik melalui percakapan grup telegram, maupun sharing rutin setiap bulan. Aksesibilitas digital tidak hanya penting agar website, aplikasi, maupun konten bisa #ramahdisabilitas, namun juga berguna bagi semua orang dan meningkatnya performa dari produk tersebut. A11yID merupakan komunitas yang diinisiasi dan dimoderasi oleh tim Suarise.

Salah satu peluang ramah disabilitas yakni dengan mengubah tampilan situs menjadi lebih ramah ragam disabilitas

“Landasan yang paling kuat dalam diselenggarakannya A11y Bootcamp Suarise adalah motivasi bagi para profesional di bidang teknologi dan digital untuk mengemban peran sebagai evangelist aksesibilitas.” Pernyataan ini disampaikan oleh Rahma Utami, CEO Suarise.id, yang menyoroti bahwa melalui Suarise A11y Bootcamp, peserta memiliki kesempatan langsung untuk terlibat dalam praktik dan berinteraksi secara langsung dengan teman-teman disabilitas. Rahma berharap bahwa peserta dapat secara langsung memahami dan menerima umpan balik yang langsung berasal dari pengalaman dan diskusi bersama teman disabilitas.

Seorang peserta Front End Developer di Gov Edukasi, Kukuh, berbagi pandangannya, “Saya percaya bahwa website dapat digunakan oleh siapapun, kapanpun, tanpa memandang kondisi apapun. Oleh karena itu, kehadiran Suarise A11y Bootcamp akan menambah wawasan dan pengetahuan bagi saya dalam merancang situs yang ramah bagi disabilitas.”

Ghina, seorang peserta yang juga memiliki peran sebagai UX Researcher di sektor telekomunikasi, menyatakan, “A11y Bootcamp Suarise menjadi langkah strategis untuk mengadvokasi kepada para tenaga profesional. Harapannya, hal ini dapat membawa teknologi yang lebih inklusif ke tingkat kerjasama yang lebih tinggi.” 

 

Menjawab Tantangan Aksebilitas Melalui Bootcamp Intensif

Adanya A11y Bootcamp Suarise menjadi suatu keharusan, sebuah inisiatif advokasi aksesibilitas yang bertujuan mendorong terjalinnya kerja sama lintas disiplin di antara para profesional dan mahasiswa dari berbagai bidang terkait. Peserta bootcamp akan memiliki kesempatan untuk menciptakan solusi aksesibilitas yang lebih holistik dan efektif dengan memperluas perspektif dan pengetahuan melalui kolaborasi aktif dengan individu yang memiliki disabilitas.

Fokus utama dari kegiatan ini adalah mengembangkan teknologi dan konten digital yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga memastikan bahwa produk digital yang dihasilkan dapat diakses dengan mudah oleh semua pengguna, termasuk teman-teman dengan disabilitas. Para peserta akan mendapatkan pemahaman mendalam tentang teknik, standar, dan praktik terbaik dalam menciptakan ruang inklusif yang dapat diakses melalui Bootcamp.  Perhelatan ini tidak hanya bersifat teoritis, melainkan juga menitikberatkan pada aspek praktis, aplikatif, dan solutif.

Melalui Suarise A11y Bootcamp, diharapkan para peserta dapat tidak hanya memahami pentingnya aksesibilitas, tetapi juga mampu mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam menciptakan solusi yang nyata dan berdampak positif dalam dunia digital. Dengan demikian, kegiatan ini diharapkan dapat menjadi tonggak bagi peningkatan kesadaran dan praktek aksesibilitas di kalangan para profesional dan mahasiswa di berbagai bidang terkait.

 

Masih bingung apa itu aksesibilitas digital dan bagaimana cara mewujudkannya di platform digital pada perusahaan atau organisasimu? Jangan ragu hubungi Project Manager Suarise [email protected] untuk konsultasi lebih lanjut.

Acara ini didukung oleh Information Society Innovation Fund (ISIF Asia) dan APNIC Foundation.

 

*Artikel ini ditulis oleh Revin Leo Warganegara, talent content writer tunanetra Suarise.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
Laptop di meja kayu yang bertuliskan website "I design and develop experience that make people life's simpler.

Kenapa Belajar Accessibility Penting untuk Product Designer?

2007 2560 suarise

Profesi Product Designer semakin naik daun di Indonesia, imbas dari banyaknya tech start up yang bermunculan. Product designer di sini bukan merujuk pada desain produk industri, seperti kebanyakan jurusan yang ada dalam fakultas desain di Indonesia, melainkan ke produk digital seperti website dan aplikasi. Terus, ngapain product designer belajar soal accessibility?

Accessibility, Universal Design dan Inclusive Design

Mayoritas produk desainer datang dari latar belakang jurusan DKV, meski tak sedikit juga dari  bidang lainnya. Sayangnya, accessibility belum termasuk kedalam kurikulum banyak program DKV padahal saat krusial saat pengembangan produk digital. Meski konteksnya sedikit berbeda, accessibility diajarkan di program studi desain produk dan arsitektur, biasanya dalam kerangka universal design atau inclusive design.

Apa sih Accessibility?

Accessibility atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai aksesibilitas adalah kapasitas sebuah fasilitas untuk melayani pengguna dengan berbagai latar belakang kondisi fisik, khususnya yang memiliki kondisi disabilitas. Awalnya, aksesibilitas merujuk pada infrastruktur bangunan, seperti ramp, lift, dan lain-lain.

Seiring berkembangnya waktu dan pesatnya teknologi digital, aksesibilitas juga memiliki sub cabang khusus aksesibilitas digital (digital accessibility). Hal ini meliputi bagaimana informasi dan layanan yang berbentuk digital (dokumen, website, aplikasi, multimedia) juga mengakomodir disabilitas.

Aksesibilitas digital lebih dikenal dengan istilah ‘a11y’. Kok a11y? A11y dibaca ali (bukan elai yah) dan angka 11 merupakan 11 huruf antara A dan Y pada kata ‘accessibility’. Kalo gak percaya, hitung aja sendiri ya, heheh.

Penerapan Accessibility di digital platform

Implementasi a11y tidak sembarangan. Ada kaidah dan standarisasi yang meliputi perceivability (bisa diterima oleh indera), operability (kebisaan pengoperasian), understandability (dapat dipahami) dan robust (kompatibilitas), atau biasa disingkat dengan POUR (Perceivable – Operable – Understandable – Robust).

Suarise Accessibility Training for Product Designer for Sixty Two_tangkapan layar sedang menerangkan slide tentang prinsip POUR

Rahma, Accessibility Consultant dari Suarise sedang menjelaskan POUR di sesi Accessibility Training di depan product designer dari SixtyTwo.co pada July 2021 silam. Banyak desainer yang masih salah memahami antara accessibility dan usability.

Accessibility mempertimbangkan seorang user (pengguna) disabilitas, baik yang menggunakan alat bantu/teknologi asistif maupun yang tidak. Yang butuh alat bantu kaya apa sih? Contohnya pembaca layar untuk tunanetra. Yang (jarang) butuh alat bantu? Biasanya kalau buta warna jarang pakai alat bantu.

Baca juga: A11yID, Komunitas Teknologi Pertama di Indonesia yang Fokus Ke Aksesibilitas di Digital Platform

Product Designer ngapain peduli aksesibilitas?

Gini lho gaes, kalian itu mendesain aplikasi dan website buat digunakan manusia kan? Kalian pernah gak memikirkan kondisi fisik dari pengguna kalian? Nah, gak semua disabilitas itu keliatan, dan kalian yakin aplikasi yang kalian buat tidak digunakan oleh user difabel? Padahal bisa jadi aplikasi kalian dampaknya gede banget loh buat mereka. Contohnya nih, aplikasi ojek online sangat membantu teman-teman netra untuk mandiri dalam bermobilitas. Tapi kalau tidak aksesibel, sayang kan?

Tapi kan, User Disabilitas bukan Target Audience Aplikasi kami..

Yakin? Memangnya dalam user persona yang kalian ada detail spesifikasi bahwa mereka non difabel? Kalau mereka buta warna gimana? Kalau mereka tuli, tunanetra, disleksia? Kecuali ditulis secara gambling, kamu gak bisa loh claim mereka bukan user kalian.

UX kan kepanjangannya adalah User Experience. Kalau tidak mempertimbangakan user disabilitas, maka jadi SUX dong… alias SOME User Experience. Ehehehe.

Jadi, Product Designer kudu piye Tuips soal Accessibility?

Latihan dan cari banyak referensi terkait implementasi #a11y. Untuk produk desainer, biasakan memahami dari paling dasar: informasi, warna, huruf, baru berangkat ke UX, Interaction Design, sampai Inclusive Design. Pahami prinsip dasarnya, POUR, lalu Latihan implementasinya.

Screenshot youtube sesi A11yID kolaborasi Suarise dengan Somia CX - Accessibility dan Service Design di Perbankan. Layar sedang menjelaskan Rahma dari Suarise menjelaskan slide yang berisi korelasi service design dengan aksesibiiltas.

Sharing session Komunitas #a11yID yang menghadirkan diskusi antara Somia-CX dan Suarise dengan topik Aksesibilitas pada Pelayanan Perbankan dari Sudut pandang service desain. A11yID mengadakan sharing session setiap bulannya terkait topik-topik seputar accessibility. Tonton video selengkapnya di: Youtube SuariseID

Accessibility Training untuk Product Designer

Bingung mulai dari mana? Suarise punya program pelatihan untuk materi aksesibilitas, dari mulai dasar yang bisa diikuti semua orang, hingga spesifik perprofesi, seperti desainer, content writer, web developer, sampai app developer. Iya, accessibility itu bukan tanggung jawab product designer saja, tapi seluruh pengembang produk juga. Ada standar internasionalnya juga gaes terkait accessibility ini.

Kalau butuh Accessibility Training untuk Product Designer, seperti yang Suarise lakukan untuk Mentify Interaction Design BootcampGo-Jek dan Sixty Two selama 2020-2021, kontak [email protected] . Suarise menyediakan accessibility training untuk perusahaan (in-house corporate training) dan tahun 2022 nanti akan buka kelas per bulan.

Nantikan ya!

Suarise Accessibility Training for Product Designer for Sixty Two

Sesi In-House Coorporate Accessibility Training for Product Designer untuk Sixty Two yang berlangsung pada 8 Juli 2021. Training terdiri dari pre-class evaluation, demonstrasi oleh user disabilitas, custom study case dari produk yang pernah dibuat. Setelah pelatihan yang katanya mindblowing ini, Sixty Two mengembangakan Project Lima yang juga mengadvokasi Inclusive Design juga.

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
Logo Gojek vs Grab

Dampak Aksesibilitas Aplikasi Gojek dan Grab untuk Kemandirian Tunanetra

2560 1316 suarise

Manfaat Aplikasi Ojol Bagi Tunanetra

Tidak dipungkiri, kehadiran ojol, alias ojek online, mempermudah hidup banyak orang. Hal ini juga berlaku bagi kalangan disabilitas, khususnya tunanetra. Dengan kondisi penglihatan yang minimal atau bahkan tidak ada sama sekali, dukungan aksesibilitas di beragam aplikasi online mempermudah tunanetra dalam membeli barang, menelaah spesifikasi barang, dan kini termasuk memesan ojek juga.

5 Alasan kenapa Tunanetra menjadi lebih Mandiri berkat Aplikasi Ojek Online

  1. Menengahi aksesibilitas transportasi publik yang masih sangat terbatas

    Dengan infrastruktur dan sarana transportasi publik di Indonesia yang belum sepenuhnya ramah bagi difabel, kehadiran aplikasi Ojek online (atau ojol) sangat mempermudah. Meski sudah banyak fasilitas publik yang menggunakan trotoar taktil, tapi seringkali hal ini tertutup oleh pedagang kaki lima, parkir motor, bahkan lubang galian. Belum juga sampai halte, kesananya saja sudah banyak jebakan.

  2. Bisa kemana-mana tanpa mengandalkan anggota keluarga

    Selama ini, mayoritas tunanetra bergantung pada anggota keluarga atau teman yang awas untuk bermobilisasi, apakah itu menemani atau mengantar dengan kendaraan seperti motor atau mobil. Praktis, harus menyesuaikan juga dengan jadwal yang mengantarkan.

  3. Lebih efisien saat bermobilitas

    Adapun sarana publik seperti layanan bis gratis, belum bisa menjamin ketepatan waktu sampai di lokasi karena harus menjemput dan mengantarkan satu per satu dari penumpang. Belum lagi, layanan ini harus dipesan beberapa hari sebelumnya. Walhasil, ini menjadi kendala jika difabel, khususnya tunanetra ingin sampai ke suatu lokasi pada waktu tertentu secara akurat ataupun untuk bepergian secara mendadak.

    Seorang tunanetra sedang memegang es kopi dan membayar ke driver Grab

    Teman netra juga bisa pesan kopi kekinian kalau aplikasinya aksesibel dan ramah difabel.

  4. Bisa tahu apa saja makanan dan minuman yang dijual di sekitar

    Orang awas mungkin tidak akan mengalami masalah ingin jajan apa, apakah itu beli sekitar rumah atau pesan via ojol kalau lagi malas jalan. Namun, keterbatasan penglihatan tunanetra menyebabkan mereka terkadang tidak tahu apa saja jajanan di sekitar rumah mereka, kecuali pernah ke sana atau diberi tahu oleh rekan yang awas. Dengan aplikasi grab dan gojek, tunanetra bisa jajan baik yang lokasinya sekitar rumah maupun yang jauh.

  5. Bisa kirim paket sendiri

    Kalau tidak punya komputer dan printer, sulit untuk tunanetra mengirimkan paket sendiri karena harus menuliskan alamat. Pun biasanya akhirnya antara meminta bantuan rekan yang awas atau datang langsung ke tempat pengiriman paket terdekat (jika tahu) untuk sekalian diketikan. Dengan aplikasi go-send dan grab-send, kirim paket jadi lebih mudah karena alamat tinggal diketikan di aplikasinya langsung.

Aksesibilitas Go-Jek dan Grab sudah sejauh apa?

Tunanetra menggunakan software pembaca layar untuk mengakses seluruh tampilan yang muncul di aplikasi. Software ini gratis dan sudah terinstall otomatis di hp merk apapun.

Sebuah aplikasi harus akses dari sisi control, tombol, tulisan, hingga gambarnya. Nah, sayangnya, meski masih bisa dioperasikan dan bermanfaat, banyak teman netra yang masih berkendala dalam mengakses aplikasi Ojol ini.

Aksesibilitas Gojek bagi Pengguna Tunanetra

Menurut kamu, mana aplikasi ojol yang lebih aksesibel untuk difabel netra?

Jawabannya ada di video berikut.

Sharing Tentang Proses Transformasi Aksesibilitas di Gojek

Dari video yang diluncurkan tahun 2019 silam ini, tim Go-jek mulai mengevaluasi penerapan aksesibilitas di dalam super-app ini. Nah, sebagai keberlanjutannya, mereka akan sharing di A11yID sharing session spesal di Global Accessibility Awareness Day (GAAD) Mei 2021 nanti tentang bagaimana tim Go-jek mencoba melakukan tranformasi di dalam untuk membuat Go-jek semakin ramah difabel.

Baca juga: A11yID, Komunitas Teknologi Pertama di Indonesia yang Fokus Ke Aksesibilitas di Digital Platform

Tangkapan layar sharing sesion spesial edisi Suarise dan Gojek. Tim Gojek sedang membicarkan dampak video #TantanganAksesbilitas Gojek vs Grab

Tim Gojek sedang membicarkan dampak video #TantanganAksesbilitas Gojek vs Grab yang dbuat oleh Suarise 2019 silam yang memicu dibentuknya A11y Champion pada akhir 2020 agar aplikasi Go-Jek semakin inklusif bagi difabel, termasuk difabel netra.

Menjadi Pengembang dan Desainer Aplikasi Yang Ramah Disabilitas

Setiap yang terlibat di pengembangan produk digital bisa membuat aplikasi maupun websitenya menjadi semakin ramah difabel dan bisa digunakan semua orang. dengan mengikuti beragam panduan pembuatan aplikasi inklusif, aplikasi bisa tetap oke tanpa mengurangi fungsi aksesibilitasnya.

Baca juga: Product Designer buat apa belajar Accessibility ?

Mau belajar lebih lanjut? Yuk gabung di komunitas A11yID. Ada sharing setiap bulan yang menambah pengetahuan dan bahasan teknis juga loh. Jangan lupa subscribe di Youtube Suarise ID dan Follow TantanganAksesibilitas di Instagram untuk menonton sharing session a11yID lainnya.

 

 

 

 

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
Logo Kotex She Can Fund Indonesia

Suarise Memenangkan Kotex #SheCan Fund Indonesia

1920 1080 suarise

Beberapa waktu lalu, Rahma Utami, founder dari Suarise, mengikutsertakan diri dalam acara Kotex #SheCan Fund Indonesia untuk mendapatkan dana bantuan untuk mengembangkan gerakan inklusivitas di digital bagi penyandang disabiiltas.

Suarise ingin mendobrak stigma bahwa penyandang disabilitas, khususnya tunanetra dan low vision tidak bisa berkarya di dunia digital. Oleh karena itu, Suarise berkomitmen menyelenggarakan pendidikan inklusi dan memperluas aksesibilitas digital di tanah air.

Kotex #SheCan Fund Indonesia

Selain Suarise, ada empat gerakan lain yang menjadi pemenang Kotex #SheCanFund Indonesia periode pertama, yaitu:

Melalui dana yang didapatkan dari Kotex #SheCan Fund, Suarise akan menyebarkanluaskan kesadartahuan, pengetahuan, dan pemahaman tentang potensi tunanetra untuk bekerja di sektor digital, meningkatkan peluang mereka direkrut, dan menyebarkan pengetahuan bagaimana membuat konten di website dan aplikasi ramah difabel.

Suarise akan terus mewujudkan mimpi agar seluruh platform digital #BisaDiakses. Kami percaya, aksesibilitas tidak hanya diperuntukkan bagi disabilitas, termasuk tunanetra dan low vision, tetapi juga diperuntukkan bagi masyarakat awas.

Kotex #SheCan Fund Indonesia terbuka bagi perempuan pendobrak dan penggerak di seluruh Indonesia. Untuk mendaftarkan gerakan #CewekKotexBisa untuk bisa mendapatkan pendanaan, kunjungi website Kotex #SheCan Fund.

Semoga berhasil!

#perlindungantotalantibakteri

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
Foto joystik playstation dengan headphone

Sound Design: Aksesibilitas Game RPG sejak sebelum Last of Us II

1500 1000 Rahma Utami

Game Last of Us part II merupakan game yang digadang-gadang memiliki fitur aksesibilitas terlengkap hingga saat ini. Sony Playstation website juga mengeluarkan official release terkait berbagai macam informasi fitur aksesibilitas dari Last of Us part II. Tapi, adakah yang menyadari bahkan sebelum game Last of Us II, banyak game-game RPG yang baik langsung maupun tidak, memiliki fitur aksesibilitas?

Poster Game Last of Us Part II beserta ratingnya yang memuaskan

Sumber: KeenGamer

Fitur-fitur seperti meningkatkan kontras dan memperbesar ukuran teks merupakan salah sedikit dari berbagai hal penunjang aksesibilitas pada game. Tapi, ada pula aspek yang awalnya bukan untuk peruntukan aksesibilitas, menjadi sangat membantu terutama bagi gamers tunanetra, yaitu sound design.

Sound Design: Aksesibilitas Game RPG sejak sebelum Last of Us II

Sound design surprisingly membuat game RPG lebih bisa bisa diakses oleh teman-teman difabel terutama dengan kondisi penglihatan.  Pada satu sesi diskusi accessible gaming di RNIB, Sightless Kombat (seorang blind gamer) menyebutkan bahwa peran suara penting sebagai petunjuk dan marker yang mempermudah navigasi di dalam game.

Penjelasan Sightless Kombat (SK) juga didukung pasangan tandem satu timnya. Dalam bermain game RPG, beliau memiliki tandem pemain yang penglihatannya masih awas. Pasangan tandemnya menceritakan pengalaman ketika mereka bermain Killer Instinct dan Gears of War 4. Mereka meneruskan perjalanan setelah melumpuhkan lawan, namun seiring berjalan, SK merasa ada sesuatu yang tertinggal. Tandemnya berbalik dan mengatakan tidak ada apa-apa disana. Tapi SK persisten ada sesuatu. Akhirnya mereka kembali ke lokasi sebelumnya dan mendapati beberapa item yang belum di ambil.

Kejadian serupa juga terjadi saat ternyata masih ada musuh yang bersembunyi saat yang terlihat semua musuh sudah dibasmi. Saat ditanya darimana SK mengetahui hal itu, dia mengatakan ada bunyi yang lirih selain suara background saat bermain. Intensitas bunyi itu juga berubah seiring gerakan mereka yang melanjutkan perjalanan.

Dari cerita dan pengalaman SK, ada lima hal yang membuat aspek sound design menjadi sangat penting untuk memfasilitasi aksesibilitas visual dalam game RPG, yaitu:

  • Sound character
  • 3 Dimensional Sound for Navigation
  • Event (macro & micro)
  • Narasi & Scene
  • System

Berdasarkan Game Accessibility Guidelines, sound design termasuk kedalam kriteria implementasi aksesibilitas kategori intermediate dan advance. Mari kita kupas bagaimana aspek-aspek di atas mendukung aksesibilitas game RPG dan atau game jenis lainnya.

Baca juga: Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas di Game

Character Sound

Pada umumnya, karakter dibagi menjadi protagonis dan antagonis, atau setidaknya kawan, lawan, dan NPC. Dengan mendesain suara yang khas untuk karakter musuh, pemain dapat mengidentifikasi ada musuh di sekitar dari sound effect-nya saja.

Jika ada beberapa tipe musuh maka ada baiknya jika desain musik/suaranya memiliki sedikit perbedaan tapi masih memiliki karakter suara yang kurang lebih sama. Alternatifnya, jika musik untuk karakternya sama, intensitas/musik pada latarnya dibuat sedikit berbeda. Dengan demikian, musik dan suara ini juga menjadi sebuah sistem informasi dalam ekosistem game tersebut.

Gambar seorang karakter di game di depan sebuah item

Sumber: reddit

Suara dan musik juga bisa di desain untuk item atau objek-objek di dalam game. Misal item yang bisa diambil dan objek dalam scene (semisal dinding) memiliki suara yang berbeda. Dengan demikian, suara memiliki nilai informatif apakah objek yang sedang ada di depan pemain interaktif atau tidak, atau memiliki fungsi khusus.

3 Dimensional Sound for Navigation

Setelah mendesain suara atau musik untuk tiap-tiap objek dan karakter, masing-masing dari hal tersebut perlu diperhatikan aspek 3D Sound-nya. 3D sound sangat berguna sebagai navigasi dalam permainan, khususnya proximity distance (jarak antara karakter dengan objek/karakter lain), dan arah datangnya suara (kiri, kanan, depan, belakang).

3D sound atau 5.1 surround biasanya menjual aspek “immersive experience” dalam sebuah game. Tapi kenyataannya, ini juga membuat game RPG semakin informatif bagi difabel khususnya tunanetra.

Tampilan pengaturan Enhanced Listen Mode di The Last of Us Part 2

Enhanced Listen Mode di The Last of Us Part 2 membuat kita bisa mendeteksi item dan musuh layaknya ikan paus. Sumber: Pribadi

Event (macro & micro)

Event dalam sebuah game banyak macamnya. Event micro bisa juga disebut sebagai reaction, yaitu bebunyian yang terjadi akibat karakter pemain berinteraksi atau melakukan sesuatu dengan objek interaktif. Contohnya adalah menembak, menebas, mengambil item, memasukan item ke dalam inventory, terkena serangan, dan lain sebagainya.

Event macro merujuk pada durasi yang lebih lama, misal, berhadapan dengan raja di dungeon. Musik atau suara untuk event besar seperti ini biasanya berlangsung dengan durasi tertentu, atau intensitas tertentu. Dan biasanya ini menjadi suara latar yang dominan selama event berlangsung.

Gambar scene penyerangan raja oleh guild

Sumber: MMOGames

Narasi & Scene

Ada berbagai macam cara untuk menyajikan narasi dalam game. Sering kali, game membuat narasi teks, lalu diikuti dialog karakter, dan ambience dari scene yang terkait (misal, gunung). Narasi teks sepatutnya harus bisa diakses dengan screen reader agar terbaca bagi tunanetra, tapi bisa juga dengan pre-recorded voice sehingga karakter suara narasi sejalan dengan karakter gamenya.

Background sound dalam sebuah scene memberikan detail lokasi dimana pemain berada. Meski kadang tidak terlalu memiliki nilai informasi signifikan kedalam gameplay, keberadaan background sound yang mengindikasikan scene menambah experience pemain yang tidak melihat untuk memahami detail dalam storyline game tersebut.

Nilai informasi juga bisa ditambahkan kedalam suara latar scene. Bisa jadi, jurus atau item yang digunakan memiliki spesifikasi lokasi (seperti indoor atau outdoor), atau item tertentu hanya bisa digunakan di ruangan, di air, di darat, di pasar, dan lain-lain.

System

Last but not least, system sound effects. Sudah barang tentu setiap game ada halaman menu pengaturan, baik itu setting dalam game saat permainan dimulai, ataupun sebelum game dimulai. Terkadang pula, saking serunya bermain, kita salah menekan tombol. Alih-alih meluncurkan serangan, pemain malah membuka system preference di game secara tidak sengaja.

Oleh karena itu, suara menu dan system preferences juga butuh untuk didesain. Sudah pasti, ambience nya akan kontras dibandingkan saat berada di scene game. Dengan demikian, sekalipun pemain tidak dapat melihat layar, dia bisa menyadari kalau dia sedang ‘kesasar’ di menu.

Screenshot menu game di Last of Us Part II

Sumber: Pinterest

 

Testing sound design untuk aksesibilitas, mulai dari mana?

Untuk mengetahui dampak sound design pada sebuah game, game developer sebaiknya melakukan test langsung kepada difabel yang terdampak. Alternatifnya, pembuat game mencoba memainkan game tersebut tanpa menggunakan visual sama sekali. Dengan demikian, aksesibilitas pada game RPG buatan studio game-mu bisa terjamin.

Selain itu, kamu juga bisa berkolaborasi dengan Suarise. Suarise menyediakan jasa konsultan dan user testing dengan tester dari berbagai latar belakang disabilitas, khususnya tunanetra. Kami merupakan satu-satunya konsultan khusus di bidang aksesibilitas digital di Indonesia. Tim kami sebelumnya telah berpengalaman dalam melakukan accessibility audit di Inggris.

Nah, menurut kamu, bagaimana implementasi sound design di Last of Us Part II? Share di kolom komen, atau mention kami di @SuariseID ya.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
Gambar karakter game Pac-man di dinding

Game-game yang Menerapkan Aksesibilitas sebelum Last of Us Part II

2165 1500 Rahma Utami

Game legendaris Last of Us tahun 2020 ini meluncurkan Last of Us Part II yang diperkaya dengan fitur aksesibilitas. Last of Us Part II memiliki berbagai feature enhancement yang membuat game RPG ini ramah bagi difabel, tak terkecuali tunenetra. Sebelum membahas terkait inovasi aksesibilitas di Last Of Us, ada baiknya kita mengulik perkembangan game-game yang Menerapkan Aksesibilitas sebelum Last of Us Part II.

Tulisan ini merupakan sebuah rangkuman dari satu sesi Focus Group Discussion di RNIB (Royal National Institute for The Blind), sebuah instansi negara di Inggris yang fokus pada isu penglihatan dan kebutaan, dan riset personal penulis. FGD ini berlangsung selama beberapa jam dengan mengundang beberapa tunanetra dan low vision yang berdomisili di Inggris, salah satunya blindgamer, SightlessKombat. juga perwakilan dari perusahaan game Ubisoft. Penulis berkesempatan untuk hadir di diskusi ini sebagai salah satu perwakilan AbilityNet.

Game-game yang Menerapkan Aksesibilitas sebelum Last of Us Part II

Dalam menilai aksesibilitas game, kita perlu memerhatikan tujuan dari game itu sendiri. Ada game yang memang ditujukan bagi kalangan dengan latar belakang difabel tertentu, namun ada pula game yang ‘umum’ tapi cukup ramah bagi teman-teman difabel. Last of Us merupakan game konsol Sony Play Station 4, dan termasuk kedalam kategori game umum  (bukan ditujukan secara khusus bagi difabel).

Berikut ini adalah game yang sudah menerapkan aksesibilitas sebelum Last of Us Part II, baik secara parsial maupun menyeluruh:

  • A Dark Room
  • Black Box
  • Frequency missing
  • Blind Cricket
  • Frozen Buble
  • Blind adventure
  • Braid

Selain itu, berikut ini adalah game yang bisa dimainkan tunanetra hingga batas tertentu:

  • Mortal Kombat
  • Gears of War

Pada dasarnya game-game yang disebutkan menjadi bisa di akses oleh teman-teman difabel karena efek gameplay atau game mechanic nya, dan atau implementasi teknisnya (jika berupa website ataupun aplikasi mobile).

Baca juga: Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas pada Game

Nah, sekarang, kita ulik apa yang membuat game-game diatas mudah diakses bagi difabel yuk.

A Dark Room

A Dark Room adalah game yang bisa di akses melalui website maupun handphone apple dan Android. Dengan style narasi layaknya novel, A Dark Room pada awalnya tidak menargetkan pasar khusus bagi difabel. Pada prakteknya, game ini sangat ramah bagi tunanetra, tunarungu, tunadaksa, butawarna, disleksia, dan mungkin beberapa dengan latar belakang kognitif lainnya.

Screenshot game A Dark Room versi aplikasi

Tampilan A Dark Room versi mobile apps

A Dark Room dapat diunduh melalui app store Apple dan play store Android.

Black Box

Blackbox adalah accessible game yang menggunakan gerakan fisik sebagai bagian dari game mechanicnya. Handphone untuk memainkan Blackbox harus memiliki gyro agar bisa mendeteksi gerakan dan orientasi. Seperti A Dark Room, Blackbox tidak dibuat dengan peruntukan khusus difabel. Meski demikian, segala action yang terjadi pada game Blackbox akan diumumkan oleh screen reader. Blackbox dapat dimainkan di iPhone secara gratis.

 

Frequency Missing

Frequency Missing adalah game genre adventure sederhana dimana user memilih aksinya dengan klik pilihan yang diinginkan. Frequency Missing bisa dimainkan oleh berbagai berbagai kalangan difabel, dan dapat diunduh di platform Android maupun iOS secara gratis. Pembuat game ini, University of Skövde yang berasal dari Swedia, memang menargetkan pengguna umum dan tunanetra di website mereka.

Game ini memiliki kontras warna yg cukup sehingga memudahkan kalangan butawarna dan lowvision. Tombol yang besar-besar memudahkan user dengan keterbatasan motor/fisik (tunadaksa) memudahkan untuk melakukan aksi. Seluruh aksi divisualisasikan dengan grafis, dan juga memiliki label dan caption verbal sehingga memudahkan teman-teman tunarungu. Lebih jauh, semua teks, baik opsi maupun narasi memiliki audio sehingga penggunaan screen reader tidak dibutuhkan.

Blind Cricket

Blind Cricket mengklaim bahwa mereka adalah simulator game Cricket aksesibel pertama yang muncul di market. Diperkaya dengan berbagai audio narasi dan mode khusus. Penggunaan screen reader sama sekali tidak diperlukan karena gamenya sendiri sudah memiliki gestur input serupa gestur dengan screen reader. Gamenya sendiri bisa dimainkan dengan cara swipe layar maupun menggoyangkan hp.  Blind Cricket bisa diunduh di iOS app store dan Android playstore.

Frozen Buble

Frozen Bubble adalah permainan mirip Candy crush dan Zuma, dimana user menembakan bola warna untuk mengenai warna yang sama. Game ini selain ramah tunarungu dan tunadaksa, juga ramah bagi buta warna karena memiliki mode “colour blind” yang bisa di aktifkan. Dengan diaktifkannya fitur ini, maka bola-bola yang tadinya hanya berupa warna, menjadi memiliki pola di masing-masing bolanya. Meski belum maksimal, hal ini mempermudah user mencocokan bola meski mereka tidak dapat mengidentifikasi perbedaan warna.

Screenshot Frozen Bubble saat mode buta warna diaktifkan

Tampilan saat mode buta warna diaktifkan. Sumber: GBGGames

Blind Legend

Blind legend, sesuai namanya, adalah sebuah game petualangan yang menempatkan pemain sebagai karakter tunanetra. Semua informasi dan narasi diceritakan melalui audio tanpa teks, dan tanpa visual sama sekali. Praktis, game ini ramah bagi mereka yang awas, atau memang tunanetra. A Blind Legend bisa didapatkan di Android play store. 

 

Braid

Game Braid, meski terlihat tidak ada hal yang terkait aksesibilitas, memiliki mekanisme manipulasi waktu, sehingga pemain bisa mengulang sebanyak mungkin dan mengumpulkan puzzle.  Meski tidak dikatakan secara gamblang, game ini cukup ramah untuk yang memiliki disabilitas kognisi, karena quest dan actionnya nya sederhana, dan waktunya tidak terbatas. Kalaupun karakter pemain mati, bisa dimundurkan ke waktu terdekat yang memungkinkan, bukan ke titik check poin yang bisa jadi jauh dari tempat kematian sehingga membuat pemain frustasi. Braid bisa diunduh melalui Steam.

 

Mortal Kombat

Percaya atau tidak, Mortal Kombat bisa memiliki spektrum implementasi aksesibilitas. Adi Latif, salah satu narasumber dalam FGD yang merupakan tunanetra total, mengatakan bahwa efek suara dan input serangan dengan melakukan kombinasi pada tuts joystik memungkinkan tunanetra untuk bermain. Meski hal ini terkesan matematis (menghapalkan kombinasi serangan yang efektif), Adil mengatakan game ini relatif bisa dinikmati jika bermain bersama orang lain.

Gears of War 4

Gears of War 4 bisa dinikmati oleh tunanetra dengan sistem tandem (2 orang berpasangan di tim yang sama).  Sightless Kombat menyatakan bahwa Gears of War 4 memiliki karakter sound design yang sangat detail sehingga memungkinkannya untuk mengetahui dan menavigasi set dimana dia berada, kehadiran musuh maupun item, dan lain-lain. Tandem partnernya akan memberikan informasi dalam game yang tidak disuarakan atau tidak bisa diakses oleh screen reader.

Wallpaper Gears of War Judgement

 

Kebanyakan tipe game yang dibahas dalam tulisan ini adalah tipe game casual. Namun demikian, bukan berarti hanya casual game yang bisa menjadi ramah bagi difabel. Berbagai macam implementasi pada game RPG juga bisa membuat game ini ramah difabel, seperti pada game Gears of War, dan lebih jauh lagi seperti yang kemudian diterapkan pada Last of Us Part II. Sound design merupakan salah satu faktor penunjang utama pada game RPG, juga dilakukan oleh game Frequency Missing yang sebelumnya sudah kita bahas.

Game untuk Low Vision

Berdasarkan paparan Matthew Tylee Atkinson, narasumber diskusi di RNIB perwakilan The Paciello Group, semua game relatif bisa menjadi ramah bagi low vision karena penggunaan magnifier, baik di konsol, desktop, maupun hp. Aspek kontras warna yang cukup juga menunjang jika hal ini signifikan dalam gameplay.

Aksesibilitas Game di Indonesia

Penulis belum mengulik lebih jauh terkait game-game buatan karya anak bangsa. Secara personal, game yang berpotensi untuk menjadi fully accessible dan familiar di masyarakat itu banyak. Sebut saja TTS, tebak-tebakan kata, dan lain sebagainya. Kalau ada yang sudah mencoba eksplorasi, boleh loh tinggalkan pesan di kolom komen atau mention social media kami di @suariseID. Jika kamu adalah seorang game developer, coba mulai baca-baca lebih jauh Game Accessibility Guidelines.

Yuk jadikan game semakin inklusif dan #BisaDiAkses semua orang tanpa kecuali! Suarise juga menyediakan jasa konsultan dan user testing dengan tester dari berbagai latar belakang disabilitas, khususnya tunanetra, untuk mendukung mewujudkan iklim inklusif berkelanjutan di Indonesia di dalam platform digital.

Foto founder Suarise, Rahmaut bersama blind gamer SightlessKombat

Foto bareng SightlessKombat di sesi FGD RNIB.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas di Game Berbasis Web, Apps dan Konsol

2560 1801 Rahma Utami

Pernahkah kalian melihat teman-teman difabel bermain game digital di hp, komputer, ataupun konsol? Pernah terpikirkan gak bagaimana game yang mereka mainkan memfasilitasi tunarungu yang tidak bisa mendengar suara, tunanetra yang tidak bisa melihat grafis, atau tunadaksa yang memiliki kesulitan memegang kontrol? Jika  teman-teman difabel bisa memainkan tugas dalam game baik tanpa ataupun dengan assistive technology, artinya game tersebut memiliki aksesibilitas yang baik. Tapi apa saja sih faktor aksesibilitas di game?

Perlu diingat bahwa pada saat berbicara tentang aksesibilitas, tak terkecuali pada game, artinya kita sedang membicarakan akomodasi untuk beragam tipe disabilitas, bukan hanya satu disabilitas saja. Namun, tidak bisa dipungkiri beberapa game lebih ramah pada kategori difabel yang satu dibandingkan yang lainnya.

Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas pada Game

Ada 3 hal perlu diperhatikan saat ingin membuat game yang aksesibilitasnya baik bagi difabel: game design, struktur teknis, dan sound design. Secara garis besar, ketiga hal ini juga berlaku bagi game-game konsol seperti Xbox, Nitendo, maupun Sony Playstation.

1. Game Design

Game yang bisa dimainkan difabel belum tentu dedesain khusus dengan fitur aksesibilitas. Terkadang, game design dan game mechanic itu menjadi faktor utama yang membuat game tersebut memiliki aksesibilitas yang baik. Umumnya hal ini sering terjadi untuk tipe game casual.

Sudah banyak casual game yang menerapkan kaidah aksesibilitas sehingga ramah dimainkan oleh difabel. Namun demikian, bukan berarti hanya casual game yang bisa menjadi ramah bagi difabel. Berbagai macam implementasi pada game RPG juga bisa membuat game ini ramah difabel, seperti pada game Gears of War, dan lebih jauh lagi seperti yang kemudian diterapkan pada Last of Us Part II.

Faktor-faktor seperti (device) input, mekanisme untuk melakukan action, mekanisme memenuhi dan menyajikan quest, hingga bagaimana display informasi pada game adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangakan sejak awal pembuatan game.

Foto joystik play station di depan sebuah laptop

Input menjadi pertimbangan mendasar saat ingin membuat game yang inklusif

2. Struktur Teknis

Karena game digital non konsol pada dasarnya juga merupakan website dan atau aplikasi selular. Maka dari itu, prinsip-prinsip POUR (Perceivable-Operable-Understanable-Robust) dan WCAG juga berlaku untuk menjamin kelangsungan aksesibilitas game diluar gameplay atau game mechanic. Beberapa diantaranya adalah:

  • Menggunakan label pada tombol, sehingga tunanetra bisa mendengar label tombol itu dengan menggunakan screen reader
  • Tidak menggunakan gambar untuk teks, sehingga bisa di zoom, diubah warnanya, dan di suarakan oleh berbagai jenis assistive technology
  • Jika terpaksa image text, maka gambar tersebut dilengkapi Alt text
  • Menggunakan script yang benar sehingga jika ada action yang mengeluarkan notifikasi, maka screen reader bisa langsung menyuarakan dan fokus keyboardnya langsung pindah jika diperlukan
  • Kontras warna yang baik untuk teks maupun komponen game yang memiliki nilai informasi sehingga mudah dibaca oleh orang dengan butawarna
  • Dan lain sebagainya.
Contoh penamaan tombol dengan atribut aria-label. Aria-label=menu pada icon 3 garis horizontal (hamburger)

Label tombol, faktor penunjang aksesibilitas yang sederhana tapi paling sering dilupakan, tak terkecuali di game.

Implementasi WCAG yang benar menjamin website dan aplikasi bisa diakses orang-orang dengan latar belakang disabilitas. Hal ini dikarenakan implementasi WCAG memastikan website dan aplikasi seluler kompatibel dengan berbagai jenis input (mouse, keyboard, haptic) dan berbagai jenis assistive technology (magnifier, colour enhancer, screen reader, dragon naturally speaking, dll).

3. Sound design vs Caption

Sound design menjadi komponen penting saat mendesain aksesibilitas game.  Immersive sound experience juga menjadi hal yang dilirik agar game menawarkan pengalaman maksimal bagi gamer tunanetra. Bagi tunanetra, suara menjadi petunjuk indikasi aksi dan narasi.

Sebaliknya, bagi tunarungu, apapun informasi yang disampaikan melalui suara harus bisa dimunculkan dalam teks/caption. Caption juga berguna bagi gamer pada umumnya jika tidak menggunakan headphone ataupun sedang dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk menyalakan suara.

Contoh sederhana dari implementasi sound design adalah pada game Frequency Missing. Sementara itu, pada game yang lebih advance, sound design memiliki berbagai turunan yang membuat kompleksitas game RPG sehingga memungkinkan untuk dimainkan oleh tunanetra sekalipun.

 

Baca juga: Sound Design, Aksesibilitas pada Game RPG sebelum Last of Us Part II

Jika kamu adalah seorang  developer game…

Dan ingin membuat game yang kamu buat bisa di akses seluruh kalangan difabel, atau ramah difabel tertentu, kamu bisa mulai menerapkan WCAG. Selain itu, mengaktifkan fitur assistive technology seperti screen reader untuk melakukan testing juga merupakan komponen yang penting. Bisa juga dengan mematikan seluruh volume suara dan hanya bermodalkan visual, atau malah memejamkan mata dan hanya menggunakan suara pada saat memainkan game tersebut untuk simulasi.

Selain itu, kamu juga bisa berkolaborasi dengan Suarise. Suarise menyediakan jasa konsultan dan user testing dengan tester dari berbagai latar belakang disabilitas, khususnya tunanetra. Kami merupakan satu-satunya konsultan khusus di bidang aksesibilitas digital di Indonesia. Tim kami sebelumnya telah berpengalaman dalam melakukan accessibility audit di Inggris.

Yuk jadikan game semakin inklusif dan #BisaDiAkses semua orang tanpa kecuali!

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Webminar: Aksesibilitas Website

960 540 suarise

Awal Mei lalu, Suarise berkesempatan untuk berbagi seputar aksesibilitas website ke khalayak front-end developer di komunitas wwwid dalam acara Livecamp.

Simak Aksesibilitas Website, Performa dan Manfaat bagi Seluruh Lapisan Masyarakat di video di bawah ini:

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Alt Teks: Aksesibilitas Media Sosial untuk Pengguna Tunanetra

150 150 Theresia Suganda

Fitur Alt-teks di Instagram

Pada akhir November 2018 lalu, Instagram mengumumkan dua peningkatan baru untuk mempermudah orang-orang tunanetra atau dengan gangguan visual menggunakan Instagram. Pembaruan pertama ialah pengadaan teks alternatif (alt text) otomatis sehingga pengguna dapat mendengarkan deskripsi foto melalui teknologi pembaca layar (screen reader). Fitur ini menggunakan teknologi pengenalan objek untuk membacakan daftar benda yang mungkin terkandung di dalam foto. Pembaruan kedua ialah pengadaan kustomisasi teks alternatif sehingga pengguna dapat menambahkan deskripsi foto yang lebih kaya.

Manfaat Pembaruan Instagram Bagi Tunanetra

Alt text otomatis sebenarnya sudah cukup baik. Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) sudah mampu mengidentifikasi bentuk-bentuk generik yang terlihat jelas pada foto. Misalnya, bentuk-bentuk generik seperti manusia, bangunan, dan langit. Hanya saja, (saat tulisan ini dibuat) teknologi tersebut masih belum dapat membaca bentuk-bentuk gambar di luar foto, seperti komik, e-poster, atau infografik.

gambar tahapan pengaturan lanjutan instagram untuk memberi keterangan gambar

Pengaturan lanjutan instagram untuk memudahkan tunanetra membaca bentuk gambar (foto: net)

Sementara itu, fitur kustomisasi alt text tersedia pada pengaturan lanjutan (advanced setting). Pengguna dapat memilih menu Write Alt Text, mengisi deskripsi, lalu menyimpannya. Pengguna juga dapat menyunting foto-foto yang sudah terkirim dan menambahkan alt text. Instagram membatasi alt text pada 100 karakter untuk mengajak pengguna berpikir dan tidak sekadar menyalin tempel (copy and paste) caption ke dalam deskripsi foto.

Seminggu setelah fitur ini hadir, saya dan Ega, salah satu peserta pelatihan Digital Content Writing yang diadakan Suarise, mengadakan uji coba penggunaan fitur. Saya menguji kustomisasi alt text dan Ega menguji keterbacaannya pada screen reader. Hasilnya buat kami berdua memuaskan. Saya jadi punya ruang untuk mendeskripsikan isi foto lebih dari sekadar menggambarkan konten foto tetapi juga memberi konteks. Dari sisi pengguna tunanetra, Ega mengalami perjalanan pengguna (user journey) yang lebih singkat untuk mendapatkan pesan dalam kiriman foto. Ega menggambarkan, tanpa alt text, yang dia dapatkan adalah sekadar keterangan (caption) foto. Caption tersebut kadang terpotong atau kadang tidak menjelaskan dengan detail konteks di dalam foto. Misalnya, pada foto secangkir kopi yang diberi caption “Selamat pagi!”. Sementara itu, dengan alt text, dia mendapatkan konteks pesan yang lebih menyeluruh lewat deskripsi gambar dan caption. Misalnya, dengan deskripsi foto “secangkir kopi di pagi hari” dan caption “Selamat pagi!”.

Tonton Bagaimana Screen Reader membaca Instagram

Bandingkan dengan kita yang awas. Hanya dengan melihat foto, kita sudah mendapatkan konteks pesan keseluruhan kiriman, bahkan sebelum kita membaca caption (dan komen-komen) lebih lanjut. Keberadaan alt text tidak hanya memudahkan perjalanan bagi pengguna tunanetra, tetapi juga menjembatani perpindahan pesan dan makna dari satu pengguna ke pengguna lainnya.

ilustrasi media sosial dalam smartphone

Ilustrasi instagram pada smartphone (foto: net)

Kamu Content Creator? Yuk Ikut Membuat Instagram dan Sosial media semakin #BisaDiAkses!

Kesetaraan Akses Media Sosial untuk Tunanetra

Pengadaan fitur alt text otomatis dan kustomisasi alt text oleh Instagram merupakan salah satu upaya memberi kesetaraan akses bagi pengguna tunanetra atau dengan gangguan visual. Langkah ini bukan yang pertama dilakukan di ranah media sosial; fitur serupa sudah ada di Facebook dan Twitter sejak 2016. Di media digital secara umum aksesibilitas tidak berhenti di pengadaan alt text pada foto atau gambar saja. Aksesibilitas juga mengacu pada desain perangkat, produk, dan lingkungan. Hal ini dimaksudkan agar individu dengan disabilitas atau gangguan sensorik dapat berhasil menggunakan perangkat atau produk.

Kesetaraan aksesibilitas media sosial untuk pengguna tunanetra menjadi isu yang semakin relevan mengingat semakin berkembangnya penggunaan media sosial. Menurut Global Digital 2019 Reports yang dirangkum oleh WeAreSocial dan Hootsuite, pengguna aktif media sosial di Indonesia sudah mencapai 56% dari total populasi. Dalam angka tersebut termasuk teman-teman pengguna tunanetra atau dengan gangguan visual yang juga menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi.

Inklusi dengan menyediakan akses media sosial yang setara adalah solusi saling menguntungkan bagi pengguna tunanetra atau dengan gangguan visual dan pengguna awas, yaitu untuk transfer informasi dan pengetahuan secara dua arah. Fitur aksesibilitas seperti alt text bisa jadi kesempatan bagi Anda, yang selama ini fokus ke estetika konten visual, untuk menjangkau pengguna tunanetra yang bisa jadi adalah sasaran komunikasi Anda juga.

Ditulis oleh Theresia Suganda, Project Manager untuk Suarise.

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia