a11yid

seorang pria teman netra sedang berdiri di depan kelas sambil memberi penjelasan di depan para peserta lain, termasuk ada seorang wanita dengan kursi roda dan beberapa orang lainnya

Apa Itu Aksesibilitas Digital di Kampus, Temukan Jawabannya Di Sini!

1920 1080 Iin Kurniati

Saat ini beberapa perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta sudah mulai terbuka menerima mahasiswa disabilitas. Hal ini adalah sesuatu yang positif. Penerimaan mahasiswa disabilitas merupakan salah satu upaya menuju perguruan tinggi atau kampus inklusi. Ketika sudah menerima mahasiswa disabilitas kampus harus menerapkan pendidikan inklusi. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dalam pendidikan inklusi adalah penerapan aksesibilitas digital. Memang mengapa penting untuk menerapkan aksesibilitas digital di kampus dan bagaimana caranya?

Mengapa Aksesibilitas Digital di Kampus Penting?

Sebagian besar kampus di Indonesia mulai menerapkan pembelajaran yang memanfaatkan platform digital seperti Learning Management Sistem (LMS) berbentuk website atau aplikasi. Pengerjaan kuis, mempelajari modul, mengumpulkan tugas, dan kegiatan belajar mengajar lainnya  dilakukan melalui LMS tersebut. Penerapan aksesibilitas digital akan membuat semua mahasiswa memiliki kesempatan yang sama dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar secara optimal termasuk mahasiswa disabilitas.

Apa Itu Kampus Inklusi

Setelah kamu mengetahui pentingnya aksesibilitas digital di kampus, kamu juga harus tahu terlebih dahulu apa itu kampus inklusi. Kampus inklusi merupakan kampus yang terbuka untuk semua orang, termasuk penyandang disabilitas. Dalam pelaksanaannya, kampus  berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan dalam berbagai hal melalui akomodasi program dan ketersediaan layanan bagi penyandang disabilitas.

Apakah di Indonesia ada Kampus Inklusi?

Terdapat sejumlah kampus inklusi di Indonesia. Pertama, ada Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (disingkat UIN Suka). Pada 2 Mei 2007 kampus yang terletak di Yogyakarta ini mendirikan Pusat Layanan Disabilitas (PLD) yang menjadi penanda UIN Suka sebagai kampus inklusi.

Kampus inklusi lain di Indonesia adalah Universitas Brawijaya (UB). Sama seperti UIN Suka, UB juga memiliki PLD yang didirikan pada 19 Maret 2012.

Selain kedua kampus di atas, menurut laman Kemendikbud terdapat 59 kampus yang memiliki layanan serupa antara lain Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Sebelas Maret, dan Universitas Pamulang. Sebagai informasi data tersebut hanya mencakup kampus yang berada di bawah Kemendikbud.

Bagaimana Kriteria Kampus Dapat Dikatakan Inklusi?

Sampai tulisan ini dipublikasikan belum ada regulasi resmi dari pemerintah Indonesia yang mengatur tentang kriteria kampus dapat dikatakan inklusi. Namun, berdasarkan ketiga contoh kampus inklusi di atas, terdapat sejumlah layanan yang diberikan kepada mahasiswa disabilitas sehingga dapat dikategorikan sebagai kampus inklusi.

Memberi Kesempatan Mahasiswa Disabilitas Untuk Mengikuti Seleksi Masuk Perguruan Tinggi

Setiap kampus inklusi harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang termasuk disabilitas untuk mengikuti proses seleksi masuk perguruan tinggi dari semua jalur. Di UIN Suka, UNS, dan UB menyediakan jalur seleksi khusus untuk disabilitas melalui seleksi mandiri jalur disabilitas. Pada seleksi ini terdapat sejumlah tahapan yakni tes tertulis dan wawancara. Saat sesi wawancara, disabilitas sebagai calon mahasiswa akan diwawancarai oleh pengelola program studi yang dituju.

Tahun ini di UB seluruh proses seleksi mandiri jalur disabilitas dilakukan sepenuhnya secara daring. Hal yang sama juga berlaku di seleksi mandiri disabilitas UIN suka dan UNS. Ketiga kampus ini memberikan akomodasi kepada calon mahasiswa disabilitas untuk mempermudah dalam mengikuti proses seleksi. Contoh akomodasi yang diberikan adalah menyesuaikan bentuk soal dan waktu pada tes tertulis.

Apakah Disabilitas Hanya Bisa Masuk Ke Perguruan Tinggi Melalui Jalur Seleksi Disabilitas?

Sebagai informasi disabilitas tidak harus mengikuti jalur seleksi disabilitas saat ingin masuk ke perguruan tinggi. Disabilitas dapat mengikuti seluruh jalur termasuk jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) dan Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) yang diadakan Kemendikbud. Kedua jalur tersebut juga sudah mengakomodasi penyandang disabilitas.

Contoh untuk tunanetra dalam mengikuti SNBT. Tunanetra mengerjakan sendiri tes tertulis menggunakan komputer yang telah terinstal pembaca layar. Pengerjaan tes ini dilakukan di ruangan terpisah dari peserta awas. Aplikasi tes yang digunakan sudah sepenuhnya aksesibel dengan pembaca layar. Bentuk soalnya telah disesuaikan dengan kondisi tunanetra seperti tidak ada soal berupa gambar atau aspek visual lainnya Kemendikbud juga menyediakan pendamping untuk setiap calon mahasiswa untuk membantu jika tunanetra menemui kendala menggunakan komputer. 

Memiliki Unit Layanan Disabilitas

Kriteria kampus inklusi selanjutnya adalah memiliki unit layanan disabilitas (ULD) atau lembaga dengan fungsi serupa. Pembentukan ULD ini merupakan kewajiban bagi perguruan tinggi yang memiliki mahasiswa disabilitas. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 13 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Merujuk PP tersebut, terdapat tujuh fungsi ULD yaitu:

  1. meningkatkan kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan di pendidikan tinggi dalam menangani Peserta Didik Penyandang Disabilitas;
  2. mengkoordinasikan setiap unit kerja yang ada di perguruan tinggi dalam pemenuhan kebutuhan khusus Peserta Didik Penyandang Disabilitas;
  3. mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan Akomodasi yang Layak;
  4. menyediakan layanan konseling kepada Peserta Didik Penyandang Disabilitas;
  5. melakukan deteksi dini bagi Peserta Didik yang terindikasi disabilitas;
  6. merujuk Peserta Didik yang terindikasi disabilitas kepada dokter, dokter spesialis, dan/atau psikolog klinis; dan
  7. memberikan sosialisasi pemahaman disabilitas dan sistem pendidikan inklusi kepada Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Peserta Didik.

Menyediakan Sarana Prasarana yang Aksesibel

Terakhir kampus inklusi harus menyediakan sarana dan prasarana yang aksesibel. Sarana dan prasarana di sini meliputi pendamping bahasa isyarat untuk membantu disabilitas tuli serta pendamping orientasi mobilitas untuk membantu disabilitas netra.

seorang pria teman netra sedang berjalan di atas guiding block di tengah jalan sambil menggunakan tongkat

Guiding block berfungsi membantu memandu tunanetra berjalan di trotoar agar tidak menabrak

Hal lain yang harus diperhatikan adalah membuat bangunan gedung dengan fasilitas yang ramah disabilitas seperti tempat parkir khusus, lerengan (ramp) dan menyediakan toilet khusus untuk pengguna kursi roda , guiding block dan lift yang dilengkapi penanda tulisan braille bagi tunanetra, dan lain-lain.

Tidak hanya itu, seperti penjelasan pada awal tulisan ini, kampus harus menyelenggarakan pendidikan inklusi dalam kegiatan belajar mengajar. Salah satunya dengan menyediakan konten pembelajaran yang bisa diakses. Pendidikan inklusi bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik, termasuk disabilitas. Cara agar konten bisa diakses adalah dengan memperhatikan aspek aksesibilitas digital. Mengapa aksesibilitas penting?

Baca juga: Aksesibilitas Digital Penting: Apakah Hanya Untuk Disabilitas?

Aksesibilitas Digital di Kampus Telah Diatur Dalam Undang-Undang

Ya kamu tidak salah baca. Masalah aksesibilitas digital di kampus sebenarnya juga sudah diatur oleh peraturan pemerintah nomor 13 tahun 2020. Pasal yang mengatur masalah ini adalah pasal lima ayat dua dan pasal empat belas huruf F.

Pasal 5 ayat 2 menyatakan “Penyediaan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dilakukan melalui pengadaan dan/atau pemeliharaan sarana dan prasarana yang memenuhi aspek aksesibilitas bangunan dan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan pasal 14F yang berbunyi “penerapan standar laman yang aksesibel dalam penggunaan teknologi, aplikasi, dan peralatan berbasis teknologi baik dalam sistem pendaftaran, administrasi, proses belajar mengajar, maupun evaluasi”

Kedua pasal di atas memang tidak menyebutkan kata “aksesibilitas digital” secara tersurat. Namun, penerapan standar laman yang aksesibel dalam penggunaan teknologi memiliki makna serupa dengan aksesibilitas digital.

Cara Menerapkan Aksesibilitas Digital di Kampus

Dengan adanya peraturan di atas, tentunya kampus-kampus di Indonesia diharapkan segera mengimplementasikan aksesibilitas digital. Cara-cara di bawah ini dapat dilakukan untuk memulai penerapan aksesibilitas digital di kampus.

Pastikan Sudah Memenuhi Standar Aksesibilitas Digital

Cara pertama adalah pastikan website, aplikasi, dan alat digital lain di kampus yang digunakan dalam proses pembelajaran sudah memenuhi standar aksesibilitas digital. Salah satu standar yang sering digunakan adalah standar ADA.

Pastikan Konten Aksesibel

Tidak hanya website dan aplikasi, pastikan konten yang diunggah ke website atau aplikasi juga harus memenuhi standar aksesibilitas digital. Contoh konten aksesibel adalah menyediakan alt text  untuk membantu tunanetra memahami isi gambar dan caption untuk membantu tuli memahami isi video. Kampus dapat bekerjasama dengan mitra yang kredibel dan berkomitmen menyediakan konten aksesibel.

Pantau dan Awasi

Selanjutnya kampus harus selalu mengawasi dan memantau agar konten dan aplikasi tadi tetap menerapkan aksesibilitas digital. Kampus dapat menunjuk unit IT, pusat layanan disabilitas, atau membuat unit khusus untuk mengawasi aksesibilitas digital. Jika memungkinkan semua departemen di kampus memiliki perwakilan anggota di unit itu untuk memaksimalkan pengawasan.

Tanamkan Aksesibilitas Digital ke Dalam Proses Kelembagaan

Lalu, kampus dapat menanamkan aksesibilitas digital ke dalam proses kelembagaan. Apabila semua pemangku kepentingan terkait di kampus memiliki aksesibilitas digital yang baik tentu mereka akan selalu menerapkan prinsip-prinsip aksesibilitas digital di setiap proses pembelajaran.

Lakukan Pelatihan Terkait Aksesibilitas Digital

Terakhir, cara mewujudkan poin sebelumnya adalah dengan cara memberi pelatihan kepada seluruh pemangku kepentingan di kampus. Materi awal yang dapat diberikan dalam pelatihan adalah hal-hal dasar penting tentang aksesibilitas digital.

Tertarik Mengimplementasikan Aksesibilitas Digital di Kampus?

Jika kamu adalah pengelola kampus yang peduli dengan aksesibilitas digital dan ingin mulai mengimplementasikannya di institusimu, Suarise menawarkan layanan Konsultasi, riset, audit dan pelatihan mengenai aksesibilitas digital. Suarise akan membantu membuat konten di platform digital kampusmu meliputi website, aplikasi, dan media sosial agar bisa diakses oleh semua orang termasuk pengguna dengan kondisi disabilitas.

Suarise juga memiliki layanan Remediasi dokumen inklusi. Layanan ini adalah layanan untuk perbaikan dokumen agar lebih mudah diakses baik dengan atau tanpa teknologi asistif. Jadi, bagi kampus yang sudah memiliki konten pembelajaran tidak perlu lagi membuat konten baru.

Suarise didukung oleh tenaga berpengalaman sehingga tidak perlu ragu. Hubungi kami sekarang dan Mari bersama-sama jadikan kampus di Indonesia lebih inklusi!

tangkapan layar A11y (alliaidi) Sharing session ke delapan tentang delapan tools untuk memulai aksesibilitas digital di website atau aplikasi. Berisi informasi dasar bahwa kesetaraan akses diperlukan oleh 22,8 juta penduduk dengan disabilitas di Indonesia

A11yID sharing session adalah kegiatan seminar / webinar yang diselenggarakan Suarise untuk membahas isu seputar aksesibilitas digital, termasuk penerapan aksesibilitas digital di kampus (dok. suarise)

Jika kamu tertarik untuk mengimplementasikan aksesibilitas digital di kampusmu tetapi bingung bagaimana cara memulainya kamu dapat menonton A11yID sharing session bertajuk “A11yID #8: 8 Tools untuk Memulai Aksesibilitas Digital di Website/App” yang diselenggarakan Suarise. Sesuai judulnya, di sini kamu dikenalkan dengan delapan tools untuk membuat aksesibilitas digital pada aplikasi dan website. Kamu dapat menontonnya melalui tautan ini!

***

 

Artikel ini disusun oleh talents Suarise, Bayu Aji Firmansyah

Bila tertarik menggunakan jasa content writer talents Suarise, hubungi Project Manager Suarise [email protected]

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Press Release – Accessibility Class dan Empathy Lab Pop Up Experience Tingkatkan Edukasi Mahasiswa soal Aksesibilitas Digital

150 150 Iin Kurniati
dua orang MC wanita di auditorium sedang membuka acara dengan latar bertuliskan digital accessibility introduction

Pembukaan acara Accessibility Class dan Empathy Lab Pop Up Experience di auditorium Binus International FX Campus (doc. internal Suarise)

Sebagai upaya meningkatkan edukasi mahasiswa mengenai pentingnya aksesibilitas digital di tanah air, Suarise menggandeng Fakultas School of Computing and Creative Arts, Binus University International FX Campus menyelenggarakan Accessibility Class dan Empathy Lab Pop Up Experience di Jakarta (26/05).

Mengusung tema Pengenalan Accessibility (A11y) pada Platform dan Dokumen Digital, kegiatan ini diselenggarakan sebagai bagian dari Peringatan Hari Kesadaran Aksesibilitas Global (Global Accessibility Awareness Day – GAAD) Tahun 2023. Tingginya antusiasme para akademisi termasuk para dosen dan mahasiswa dalam komunitas A11yID yang diusung Suarise, membuat Suarise berinisiasi memperluas edukasi mengenai aksesibilitas digital di level perguruan tinggi.

Suarise menyelenggarakan kegiatan luring (offline) pertama tahun 2023 yang melibatkan civitas academica untuk membagi pengalaman dan pengetahuan seputar aksesibilitas digital dalam Accessibility Class melalui dukungan pendanaan dari ISIF ASIA. Kegiatan ini juga dilengkapi dengan Empathy Lab Pop Up Experience berupa aktivitas interaktif untuk memahami tantangan aksesibilitas digital dan solusi akomodatif dari pemanfaatan teknologi yang digunakan dalam membantu keseharian teman-teman disabilitas. A11y Empathy Lab Pop Up Experience ini juga menjadi kegiatan berskala medium pertama yang diselenggarakan Suarise dengan menyajikan 40 dari total 50 skenario perkenalan penerapan teknologi bagi disabilitas.

Kegiatan A11y Empathy Lab Pop Up Experience bertujuan menjembatani kesenjangan pengetahuan masyarakat tentang interaksi penyandang disabilitas dengan teknologi, diantaranya bagi teman netra, teman tuli, disleksia, daksa, dan buta warna. Kegiatan ini berupaya menjawab bagaimana tantangan dan solusi teknologi yang tersedia, mulai dari akomodasi hingga teknologi asistif yang digunakan teman-teman disabilitas dalam kehidupan sehari-hari.

Kepala Program Komunikasi Binus University International fX Campus, Dian Sarwono, menyampaikan bahwa kolaborasi ini berperan penting untuk menyebarluaskan lebih banyak informasi kepada publik, khususnya civitas akademik. 

“Kami mendengar ada berbagai inovasi (teknologi terkait aksesibilitas) tetapi kami tidak tahu bagaimana inovasi itu bekerja, apa tantangan yang dihadapi, dan apa yang bisa kita lakukan. Kita juga tahu bahwa perlu lebih banyak upaya dan proses untuk memperkenalkan aksesibilitas digital. Oleh karena itu kami bekerja bersama untuk meningkatkan awareness (kesadartahuan) tentang aksesibilitas digital dan pentingnya aksesibilitas digital di Indonesia. Kami berharap kita akan menyelenggarakan proyek lain di masa mendatang, ujarnya.”

Dalam presentasinya, Rahma Utami, Direktur Suarise menyatakan bahwa acara ini secara tidak langsung menjadi Peluncuran kegiatan A11y Empathy Lab Pop Up Experience pertama di Indonesia. Rahma menekankan pentingnya aksesibilitas digital untuk digunakan dalam website, aplikasi digital, maupun platform digital lainnya terlepas dari kemampuan ataupun perbedaan cara, dengan atau tanpa teknologi asistif.

“Aksesibilitas digital penting karena memungkinkan masyarakat untuk mencari, mengakses, mengeksplorasi informasi daripada menunggu. Kita dapat menciptakan kebebasan bagi seluruh lapisan masyarakat (mewujudkan hak asasi manusia), ungkapnya.”

Pada akhirnya, aksesibilitas digital tidak hanya penting agar website, aplikasi, maupun konten digital bisa ramah dan layak disabilitas, tetapi juga berguna untuk meningkatkan performa produk tersebut, serta membuka mata semua pihak bahwa tantangan mewujudkan aksesibilitas digital ini tugas kita bersama.

 

Demo Aksesibilitas Digital 

teman netra perempuan berdiri di auditorium untuk memperkenalkan diri, namanya Yani

Aryani, talent tunanetra Suarise, memperkenalkan diri sebelum melakukan uji aksesibilitas digital untuk website dan platform digital (doc. internal Suarise)

Disamping membahas mengenai urgensi aksesibilitas digital, para mahasiswa dan civitas academica juga disajikan demo aksesibilitas digital oleh teman disabilitas. Kegiatan ini dilakukan untuk menguji apakah suatu platform digital, seperti website, aplikasi digital, maupun media sosial mudah diakses bagi disabilitas, baik dengan menggunakan pembaca layar, menggunakan keyboard tanpa mouse, desain inklusif, serta berbagai kaidah lain yang sesuai kaidah WCAG (Web Content Accessibility Guideline). Demo aksesibilitas digital ini bertujuan memahami tantangan aksesibilitas digital yang dihadapi teman-teman disabilitas.

 

A11y Empathy Lab Pop Up Experience

seorang pria sedang bermain play station yang ramah bagi disabilitas ditemani oleh dua orang volunteer

Salah satu aktivitas skenario Empathy Lab Pop Up Experience mengajak peserta bermain game Last of Us 2 yang memenuhi unsur aksesibilitas digital (doc. internal Suarise)

Kegiatan A11y Empathy Lab Pop Up Experience memiliki sejumlah skenario interaktif yang membangun keterlibatan bagi peserta. Aktivitas ini memungkinkan peserta memahami solusi akomodatif dan teknologi yang membantu keseharian disabilitas. Dalam kegiatan ini, Suarise menyiapkan sejumlah aktivitas interaktif bagi para peserta, diantaranya play station accessibility, pameran foto ‘imaji visual’ karya Dhemas Reviyanto fotografer Antara, accessible fashion karya desainer Andini Wijendaru (@dinidini) yang didokumentasikan oleh Dita W Yolansari (@ditut), uji coba navigasi di komputer maupun handphone menggunakan aplikasi pembaca layar (screen reader) bersama teman netra, hingga kacamata simulasi penglihatan tunanetra. 

 

Tentang Penyelenggara

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Suarise bersama Fakultas School of Computing and Creative Arts, Binus University International fX Campus untuk memperingati Global Accessibility Awareness Day (GAAD) Tahun 2023. Kegiatan ini merupakan bagian dari ISIF atau Information Society Innovation Fund Asia sebagai program pendanaan dan dukungan yang berfokus pada promosi pengembangan Internet dan inklusi digital di kawasan Asia-Pasifik.  

ISIF ASIA memberikan dukungan bagi untuk proyek-proyek yang berkontribusi pada pertumbuhan teknologi Internet dan TIK untuk pembangunan sosial dan ekonomi. Suarise mendapat dukungan pendanaan penuh ISIF dalam program A11y Empathy Lab Pop Up Experience, A11y Bootcamp, A11y Design Challenge, dan Accessibility Issue Submission Challenge. ISIF ASIA bertujuan untuk mendukung inisiatif yang menangani masalah terkait Internet seperti akses, keterjangkauan, keamanan dunia maya, privasi online, hak digital, dan pengembangan konten lokal. ISIF ASIA mendorong pendekatan inovatif, kolaborasi, dan pembangunan kapasitas di kawasan. Program ini dilaksanakan oleh Pusat Informasi Jaringan Asia Pasifik (APNIC), sebuah registri Internet regional, dan telah mendukung proyek sejak didirikan pada tahun 2008. Pendanaan dan dukungan yang diberikan oleh ISIF ASIA telah berkontribusi pada berbagai inisiatif dan inovasi yang telah dilakukan. dampak positif pada pengembangan Internet dan inklusi digital di kawasan Asia-Pasifik.

GAAD atau Hari Kesadaran Aksesibilitas Global fokus pada akses dan inklusi digital untuk lebih dari satu miliar orang dengan disabilitas dan kemampuan berbeda. Acara yang dirayakan pada hari Kamis ketiga setiap bulan Mei ini diluncurkan untuk pertama kalinya pada bulan Mei 2012 di Los Angeles, Amerika Serikat. Pertama kali diprakarsai oleh Joe Devon, seorang pengembang, dan Jennison Asuncion, seorang tunanetra yang saat ini menjadi karyawan Linkedin. Sejak tahun 2020, Suarise memprakarsai GAAD untuk pertama kalinya di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan membuat orang berbicara, berpikir, dan belajar tentang akses/inklusi digital (web, perangkat lunak, seluler, dll.) dan orang-orang dengan kemampuan berbeda. Suarise percaya bahwa aksesibilitas digital merupakan sarana memberdayakan masyarakat dengan berbagai kemampuan. Melalui pemberian akses informasi yang sama kepada orang-orang dengan kemampuan berbeda, mereka memiliki kesempatan sama untuk mandiri dalam bidang apa pun, literasi yang lebih baik, pembelajaran yang lebih baik, serta kehidupan yang lebih baik.

Suarise adalah perusahaan sosial independen yang fokus mempromosikan yang memungkinkan kesamaan akses dan kesempatan bagi orang-orang dengan gangguan penglihatan (tunanetra) di industri digital dan platform online. Sejak didirikan pada 2017, Suarise menyediakan tiga layanan utama. Pertama, memberikan pelatihan vokasi terkait teknologi digital bagi tunanetra dan low vision agar dapat bekerja secara independen maupun sebagai tenaga tetap dalam perusahaan. Kedua, Suarise membuka konsultasi dan riset aksesibilitas digital, serta persiapan onboarding bagi perusahaan yang akan mempekerjakan disabilitas, khususnya tunanetra dan low vision. Ketiga, Suarise menyediakan jasa penulisan konten digital yang dilakukan para talents Suarise tunanetra dan low vision.

 

Kontak Suarise 

Public Relations: [email protected] 

www.suarise.com

 

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
Foto joystik playstation dengan headphone

Sound Design: Aksesibilitas Game RPG sejak sebelum Last of Us II

1500 1000 Rahma Utami

Game Last of Us part II merupakan game yang digadang-gadang memiliki fitur aksesibilitas terlengkap hingga saat ini. Sony Playstation website juga mengeluarkan official release terkait berbagai macam informasi fitur aksesibilitas dari Last of Us part II. Tapi, adakah yang menyadari bahkan sebelum game Last of Us II, banyak game-game RPG yang baik langsung maupun tidak, memiliki fitur aksesibilitas?

Poster Game Last of Us Part II beserta ratingnya yang memuaskan

Sumber: KeenGamer

Fitur-fitur seperti meningkatkan kontras dan memperbesar ukuran teks merupakan salah sedikit dari berbagai hal penunjang aksesibilitas pada game. Tapi, ada pula aspek yang awalnya bukan untuk peruntukan aksesibilitas, menjadi sangat membantu terutama bagi gamers tunanetra, yaitu sound design.

Sound Design: Aksesibilitas Game RPG sejak sebelum Last of Us II

Sound design surprisingly membuat game RPG lebih bisa bisa diakses oleh teman-teman difabel terutama dengan kondisi penglihatan.  Pada satu sesi diskusi accessible gaming di RNIB, Sightless Kombat (seorang blind gamer) menyebutkan bahwa peran suara penting sebagai petunjuk dan marker yang mempermudah navigasi di dalam game.

Penjelasan Sightless Kombat (SK) juga didukung pasangan tandem satu timnya. Dalam bermain game RPG, beliau memiliki tandem pemain yang penglihatannya masih awas. Pasangan tandemnya menceritakan pengalaman ketika mereka bermain Killer Instinct dan Gears of War 4. Mereka meneruskan perjalanan setelah melumpuhkan lawan, namun seiring berjalan, SK merasa ada sesuatu yang tertinggal. Tandemnya berbalik dan mengatakan tidak ada apa-apa disana. Tapi SK persisten ada sesuatu. Akhirnya mereka kembali ke lokasi sebelumnya dan mendapati beberapa item yang belum di ambil.

Kejadian serupa juga terjadi saat ternyata masih ada musuh yang bersembunyi saat yang terlihat semua musuh sudah dibasmi. Saat ditanya darimana SK mengetahui hal itu, dia mengatakan ada bunyi yang lirih selain suara background saat bermain. Intensitas bunyi itu juga berubah seiring gerakan mereka yang melanjutkan perjalanan.

Dari cerita dan pengalaman SK, ada lima hal yang membuat aspek sound design menjadi sangat penting untuk memfasilitasi aksesibilitas visual dalam game RPG, yaitu:

  • Sound character
  • 3 Dimensional Sound for Navigation
  • Event (macro & micro)
  • Narasi & Scene
  • System

Berdasarkan Game Accessibility Guidelines, sound design termasuk kedalam kriteria implementasi aksesibilitas kategori intermediate dan advance. Mari kita kupas bagaimana aspek-aspek di atas mendukung aksesibilitas game RPG dan atau game jenis lainnya.

Baca juga: Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas di Game

Character Sound

Pada umumnya, karakter dibagi menjadi protagonis dan antagonis, atau setidaknya kawan, lawan, dan NPC. Dengan mendesain suara yang khas untuk karakter musuh, pemain dapat mengidentifikasi ada musuh di sekitar dari sound effect-nya saja.

Jika ada beberapa tipe musuh maka ada baiknya jika desain musik/suaranya memiliki sedikit perbedaan tapi masih memiliki karakter suara yang kurang lebih sama. Alternatifnya, jika musik untuk karakternya sama, intensitas/musik pada latarnya dibuat sedikit berbeda. Dengan demikian, musik dan suara ini juga menjadi sebuah sistem informasi dalam ekosistem game tersebut.

Gambar seorang karakter di game di depan sebuah item

Sumber: reddit

Suara dan musik juga bisa di desain untuk item atau objek-objek di dalam game. Misal item yang bisa diambil dan objek dalam scene (semisal dinding) memiliki suara yang berbeda. Dengan demikian, suara memiliki nilai informatif apakah objek yang sedang ada di depan pemain interaktif atau tidak, atau memiliki fungsi khusus.

3 Dimensional Sound for Navigation

Setelah mendesain suara atau musik untuk tiap-tiap objek dan karakter, masing-masing dari hal tersebut perlu diperhatikan aspek 3D Sound-nya. 3D sound sangat berguna sebagai navigasi dalam permainan, khususnya proximity distance (jarak antara karakter dengan objek/karakter lain), dan arah datangnya suara (kiri, kanan, depan, belakang).

3D sound atau 5.1 surround biasanya menjual aspek “immersive experience” dalam sebuah game. Tapi kenyataannya, ini juga membuat game RPG semakin informatif bagi difabel khususnya tunanetra.

Tampilan pengaturan Enhanced Listen Mode di The Last of Us Part 2

Enhanced Listen Mode di The Last of Us Part 2 membuat kita bisa mendeteksi item dan musuh layaknya ikan paus. Sumber: Pribadi

Event (macro & micro)

Event dalam sebuah game banyak macamnya. Event micro bisa juga disebut sebagai reaction, yaitu bebunyian yang terjadi akibat karakter pemain berinteraksi atau melakukan sesuatu dengan objek interaktif. Contohnya adalah menembak, menebas, mengambil item, memasukan item ke dalam inventory, terkena serangan, dan lain sebagainya.

Event macro merujuk pada durasi yang lebih lama, misal, berhadapan dengan raja di dungeon. Musik atau suara untuk event besar seperti ini biasanya berlangsung dengan durasi tertentu, atau intensitas tertentu. Dan biasanya ini menjadi suara latar yang dominan selama event berlangsung.

Gambar scene penyerangan raja oleh guild

Sumber: MMOGames

Narasi & Scene

Ada berbagai macam cara untuk menyajikan narasi dalam game. Sering kali, game membuat narasi teks, lalu diikuti dialog karakter, dan ambience dari scene yang terkait (misal, gunung). Narasi teks sepatutnya harus bisa diakses dengan screen reader agar terbaca bagi tunanetra, tapi bisa juga dengan pre-recorded voice sehingga karakter suara narasi sejalan dengan karakter gamenya.

Background sound dalam sebuah scene memberikan detail lokasi dimana pemain berada. Meski kadang tidak terlalu memiliki nilai informasi signifikan kedalam gameplay, keberadaan background sound yang mengindikasikan scene menambah experience pemain yang tidak melihat untuk memahami detail dalam storyline game tersebut.

Nilai informasi juga bisa ditambahkan kedalam suara latar scene. Bisa jadi, jurus atau item yang digunakan memiliki spesifikasi lokasi (seperti indoor atau outdoor), atau item tertentu hanya bisa digunakan di ruangan, di air, di darat, di pasar, dan lain-lain.

System

Last but not least, system sound effects. Sudah barang tentu setiap game ada halaman menu pengaturan, baik itu setting dalam game saat permainan dimulai, ataupun sebelum game dimulai. Terkadang pula, saking serunya bermain, kita salah menekan tombol. Alih-alih meluncurkan serangan, pemain malah membuka system preference di game secara tidak sengaja.

Oleh karena itu, suara menu dan system preferences juga butuh untuk didesain. Sudah pasti, ambience nya akan kontras dibandingkan saat berada di scene game. Dengan demikian, sekalipun pemain tidak dapat melihat layar, dia bisa menyadari kalau dia sedang ‘kesasar’ di menu.

Screenshot menu game di Last of Us Part II

Sumber: Pinterest

 

Testing sound design untuk aksesibilitas, mulai dari mana?

Untuk mengetahui dampak sound design pada sebuah game, game developer sebaiknya melakukan test langsung kepada difabel yang terdampak. Alternatifnya, pembuat game mencoba memainkan game tersebut tanpa menggunakan visual sama sekali. Dengan demikian, aksesibilitas pada game RPG buatan studio game-mu bisa terjamin.

Selain itu, kamu juga bisa berkolaborasi dengan Suarise. Suarise menyediakan jasa konsultan dan user testing dengan tester dari berbagai latar belakang disabilitas, khususnya tunanetra. Kami merupakan satu-satunya konsultan khusus di bidang aksesibilitas digital di Indonesia. Tim kami sebelumnya telah berpengalaman dalam melakukan accessibility audit di Inggris.

Nah, menurut kamu, bagaimana implementasi sound design di Last of Us Part II? Share di kolom komen, atau mention kami di @SuariseID ya.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia
Gambar karakter game Pac-man di dinding

Game-game yang Menerapkan Aksesibilitas sebelum Last of Us Part II

2165 1500 Rahma Utami

Game legendaris Last of Us tahun 2020 ini meluncurkan Last of Us Part II yang diperkaya dengan fitur aksesibilitas. Last of Us Part II memiliki berbagai feature enhancement yang membuat game RPG ini ramah bagi difabel, tak terkecuali tunenetra. Sebelum membahas terkait inovasi aksesibilitas di Last Of Us, ada baiknya kita mengulik perkembangan game-game yang Menerapkan Aksesibilitas sebelum Last of Us Part II.

Tulisan ini merupakan sebuah rangkuman dari satu sesi Focus Group Discussion di RNIB (Royal National Institute for The Blind), sebuah instansi negara di Inggris yang fokus pada isu penglihatan dan kebutaan, dan riset personal penulis. FGD ini berlangsung selama beberapa jam dengan mengundang beberapa tunanetra dan low vision yang berdomisili di Inggris, salah satunya blindgamer, SightlessKombat. juga perwakilan dari perusahaan game Ubisoft. Penulis berkesempatan untuk hadir di diskusi ini sebagai salah satu perwakilan AbilityNet.

Game-game yang Menerapkan Aksesibilitas sebelum Last of Us Part II

Dalam menilai aksesibilitas game, kita perlu memerhatikan tujuan dari game itu sendiri. Ada game yang memang ditujukan bagi kalangan dengan latar belakang difabel tertentu, namun ada pula game yang ‘umum’ tapi cukup ramah bagi teman-teman difabel. Last of Us merupakan game konsol Sony Play Station 4, dan termasuk kedalam kategori game umum  (bukan ditujukan secara khusus bagi difabel).

Berikut ini adalah game yang sudah menerapkan aksesibilitas sebelum Last of Us Part II, baik secara parsial maupun menyeluruh:

  • A Dark Room
  • Black Box
  • Frequency missing
  • Blind Cricket
  • Frozen Buble
  • Blind adventure
  • Braid

Selain itu, berikut ini adalah game yang bisa dimainkan tunanetra hingga batas tertentu:

  • Mortal Kombat
  • Gears of War

Pada dasarnya game-game yang disebutkan menjadi bisa di akses oleh teman-teman difabel karena efek gameplay atau game mechanic nya, dan atau implementasi teknisnya (jika berupa website ataupun aplikasi mobile).

Baca juga: Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas pada Game

Nah, sekarang, kita ulik apa yang membuat game-game diatas mudah diakses bagi difabel yuk.

A Dark Room

A Dark Room adalah game yang bisa di akses melalui website maupun handphone apple dan Android. Dengan style narasi layaknya novel, A Dark Room pada awalnya tidak menargetkan pasar khusus bagi difabel. Pada prakteknya, game ini sangat ramah bagi tunanetra, tunarungu, tunadaksa, butawarna, disleksia, dan mungkin beberapa dengan latar belakang kognitif lainnya.

Screenshot game A Dark Room versi aplikasi

Tampilan A Dark Room versi mobile apps

A Dark Room dapat diunduh melalui app store Apple dan play store Android.

Black Box

Blackbox adalah accessible game yang menggunakan gerakan fisik sebagai bagian dari game mechanicnya. Handphone untuk memainkan Blackbox harus memiliki gyro agar bisa mendeteksi gerakan dan orientasi. Seperti A Dark Room, Blackbox tidak dibuat dengan peruntukan khusus difabel. Meski demikian, segala action yang terjadi pada game Blackbox akan diumumkan oleh screen reader. Blackbox dapat dimainkan di iPhone secara gratis.

 

Frequency Missing

Frequency Missing adalah game genre adventure sederhana dimana user memilih aksinya dengan klik pilihan yang diinginkan. Frequency Missing bisa dimainkan oleh berbagai berbagai kalangan difabel, dan dapat diunduh di platform Android maupun iOS secara gratis. Pembuat game ini, University of Skövde yang berasal dari Swedia, memang menargetkan pengguna umum dan tunanetra di website mereka.

Game ini memiliki kontras warna yg cukup sehingga memudahkan kalangan butawarna dan lowvision. Tombol yang besar-besar memudahkan user dengan keterbatasan motor/fisik (tunadaksa) memudahkan untuk melakukan aksi. Seluruh aksi divisualisasikan dengan grafis, dan juga memiliki label dan caption verbal sehingga memudahkan teman-teman tunarungu. Lebih jauh, semua teks, baik opsi maupun narasi memiliki audio sehingga penggunaan screen reader tidak dibutuhkan.

Blind Cricket

Blind Cricket mengklaim bahwa mereka adalah simulator game Cricket aksesibel pertama yang muncul di market. Diperkaya dengan berbagai audio narasi dan mode khusus. Penggunaan screen reader sama sekali tidak diperlukan karena gamenya sendiri sudah memiliki gestur input serupa gestur dengan screen reader. Gamenya sendiri bisa dimainkan dengan cara swipe layar maupun menggoyangkan hp.  Blind Cricket bisa diunduh di iOS app store dan Android playstore.

Frozen Buble

Frozen Bubble adalah permainan mirip Candy crush dan Zuma, dimana user menembakan bola warna untuk mengenai warna yang sama. Game ini selain ramah tunarungu dan tunadaksa, juga ramah bagi buta warna karena memiliki mode “colour blind” yang bisa di aktifkan. Dengan diaktifkannya fitur ini, maka bola-bola yang tadinya hanya berupa warna, menjadi memiliki pola di masing-masing bolanya. Meski belum maksimal, hal ini mempermudah user mencocokan bola meski mereka tidak dapat mengidentifikasi perbedaan warna.

Screenshot Frozen Bubble saat mode buta warna diaktifkan

Tampilan saat mode buta warna diaktifkan. Sumber: GBGGames

Blind Legend

Blind legend, sesuai namanya, adalah sebuah game petualangan yang menempatkan pemain sebagai karakter tunanetra. Semua informasi dan narasi diceritakan melalui audio tanpa teks, dan tanpa visual sama sekali. Praktis, game ini ramah bagi mereka yang awas, atau memang tunanetra. A Blind Legend bisa didapatkan di Android play store. 

 

Braid

Game Braid, meski terlihat tidak ada hal yang terkait aksesibilitas, memiliki mekanisme manipulasi waktu, sehingga pemain bisa mengulang sebanyak mungkin dan mengumpulkan puzzle.  Meski tidak dikatakan secara gamblang, game ini cukup ramah untuk yang memiliki disabilitas kognisi, karena quest dan actionnya nya sederhana, dan waktunya tidak terbatas. Kalaupun karakter pemain mati, bisa dimundurkan ke waktu terdekat yang memungkinkan, bukan ke titik check poin yang bisa jadi jauh dari tempat kematian sehingga membuat pemain frustasi. Braid bisa diunduh melalui Steam.

 

Mortal Kombat

Percaya atau tidak, Mortal Kombat bisa memiliki spektrum implementasi aksesibilitas. Adi Latif, salah satu narasumber dalam FGD yang merupakan tunanetra total, mengatakan bahwa efek suara dan input serangan dengan melakukan kombinasi pada tuts joystik memungkinkan tunanetra untuk bermain. Meski hal ini terkesan matematis (menghapalkan kombinasi serangan yang efektif), Adil mengatakan game ini relatif bisa dinikmati jika bermain bersama orang lain.

Gears of War 4

Gears of War 4 bisa dinikmati oleh tunanetra dengan sistem tandem (2 orang berpasangan di tim yang sama).  Sightless Kombat menyatakan bahwa Gears of War 4 memiliki karakter sound design yang sangat detail sehingga memungkinkannya untuk mengetahui dan menavigasi set dimana dia berada, kehadiran musuh maupun item, dan lain-lain. Tandem partnernya akan memberikan informasi dalam game yang tidak disuarakan atau tidak bisa diakses oleh screen reader.

Wallpaper Gears of War Judgement

 

Kebanyakan tipe game yang dibahas dalam tulisan ini adalah tipe game casual. Namun demikian, bukan berarti hanya casual game yang bisa menjadi ramah bagi difabel. Berbagai macam implementasi pada game RPG juga bisa membuat game ini ramah difabel, seperti pada game Gears of War, dan lebih jauh lagi seperti yang kemudian diterapkan pada Last of Us Part II. Sound design merupakan salah satu faktor penunjang utama pada game RPG, juga dilakukan oleh game Frequency Missing yang sebelumnya sudah kita bahas.

Game untuk Low Vision

Berdasarkan paparan Matthew Tylee Atkinson, narasumber diskusi di RNIB perwakilan The Paciello Group, semua game relatif bisa menjadi ramah bagi low vision karena penggunaan magnifier, baik di konsol, desktop, maupun hp. Aspek kontras warna yang cukup juga menunjang jika hal ini signifikan dalam gameplay.

Aksesibilitas Game di Indonesia

Penulis belum mengulik lebih jauh terkait game-game buatan karya anak bangsa. Secara personal, game yang berpotensi untuk menjadi fully accessible dan familiar di masyarakat itu banyak. Sebut saja TTS, tebak-tebakan kata, dan lain sebagainya. Kalau ada yang sudah mencoba eksplorasi, boleh loh tinggalkan pesan di kolom komen atau mention social media kami di @suariseID. Jika kamu adalah seorang game developer, coba mulai baca-baca lebih jauh Game Accessibility Guidelines.

Yuk jadikan game semakin inklusif dan #BisaDiAkses semua orang tanpa kecuali! Suarise juga menyediakan jasa konsultan dan user testing dengan tester dari berbagai latar belakang disabilitas, khususnya tunanetra, untuk mendukung mewujudkan iklim inklusif berkelanjutan di Indonesia di dalam platform digital.

Foto founder Suarise, Rahmaut bersama blind gamer SightlessKombat

Foto bareng SightlessKombat di sesi FGD RNIB.

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia

Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas di Game Berbasis Web, Apps dan Konsol

2560 1801 Rahma Utami

Pernahkah kalian melihat teman-teman difabel bermain game digital di hp, komputer, ataupun konsol? Pernah terpikirkan gak bagaimana game yang mereka mainkan memfasilitasi tunarungu yang tidak bisa mendengar suara, tunanetra yang tidak bisa melihat grafis, atau tunadaksa yang memiliki kesulitan memegang kontrol? Jika  teman-teman difabel bisa memainkan tugas dalam game baik tanpa ataupun dengan assistive technology, artinya game tersebut memiliki aksesibilitas yang baik. Tapi apa saja sih faktor aksesibilitas di game?

Perlu diingat bahwa pada saat berbicara tentang aksesibilitas, tak terkecuali pada game, artinya kita sedang membicarakan akomodasi untuk beragam tipe disabilitas, bukan hanya satu disabilitas saja. Namun, tidak bisa dipungkiri beberapa game lebih ramah pada kategori difabel yang satu dibandingkan yang lainnya.

Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas pada Game

Ada 3 hal perlu diperhatikan saat ingin membuat game yang aksesibilitasnya baik bagi difabel: game design, struktur teknis, dan sound design. Secara garis besar, ketiga hal ini juga berlaku bagi game-game konsol seperti Xbox, Nitendo, maupun Sony Playstation.

1. Game Design

Game yang bisa dimainkan difabel belum tentu dedesain khusus dengan fitur aksesibilitas. Terkadang, game design dan game mechanic itu menjadi faktor utama yang membuat game tersebut memiliki aksesibilitas yang baik. Umumnya hal ini sering terjadi untuk tipe game casual.

Sudah banyak casual game yang menerapkan kaidah aksesibilitas sehingga ramah dimainkan oleh difabel. Namun demikian, bukan berarti hanya casual game yang bisa menjadi ramah bagi difabel. Berbagai macam implementasi pada game RPG juga bisa membuat game ini ramah difabel, seperti pada game Gears of War, dan lebih jauh lagi seperti yang kemudian diterapkan pada Last of Us Part II.

Faktor-faktor seperti (device) input, mekanisme untuk melakukan action, mekanisme memenuhi dan menyajikan quest, hingga bagaimana display informasi pada game adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangakan sejak awal pembuatan game.

Foto joystik play station di depan sebuah laptop

Input menjadi pertimbangan mendasar saat ingin membuat game yang inklusif

2. Struktur Teknis

Karena game digital non konsol pada dasarnya juga merupakan website dan atau aplikasi selular. Maka dari itu, prinsip-prinsip POUR (Perceivable-Operable-Understanable-Robust) dan WCAG juga berlaku untuk menjamin kelangsungan aksesibilitas game diluar gameplay atau game mechanic. Beberapa diantaranya adalah:

  • Menggunakan label pada tombol, sehingga tunanetra bisa mendengar label tombol itu dengan menggunakan screen reader
  • Tidak menggunakan gambar untuk teks, sehingga bisa di zoom, diubah warnanya, dan di suarakan oleh berbagai jenis assistive technology
  • Jika terpaksa image text, maka gambar tersebut dilengkapi Alt text
  • Menggunakan script yang benar sehingga jika ada action yang mengeluarkan notifikasi, maka screen reader bisa langsung menyuarakan dan fokus keyboardnya langsung pindah jika diperlukan
  • Kontras warna yang baik untuk teks maupun komponen game yang memiliki nilai informasi sehingga mudah dibaca oleh orang dengan butawarna
  • Dan lain sebagainya.
Contoh penamaan tombol dengan atribut aria-label. Aria-label=menu pada icon 3 garis horizontal (hamburger)

Label tombol, faktor penunjang aksesibilitas yang sederhana tapi paling sering dilupakan, tak terkecuali di game.

Implementasi WCAG yang benar menjamin website dan aplikasi bisa diakses orang-orang dengan latar belakang disabilitas. Hal ini dikarenakan implementasi WCAG memastikan website dan aplikasi seluler kompatibel dengan berbagai jenis input (mouse, keyboard, haptic) dan berbagai jenis assistive technology (magnifier, colour enhancer, screen reader, dragon naturally speaking, dll).

3. Sound design vs Caption

Sound design menjadi komponen penting saat mendesain aksesibilitas game.  Immersive sound experience juga menjadi hal yang dilirik agar game menawarkan pengalaman maksimal bagi gamer tunanetra. Bagi tunanetra, suara menjadi petunjuk indikasi aksi dan narasi.

Sebaliknya, bagi tunarungu, apapun informasi yang disampaikan melalui suara harus bisa dimunculkan dalam teks/caption. Caption juga berguna bagi gamer pada umumnya jika tidak menggunakan headphone ataupun sedang dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk menyalakan suara.

Contoh sederhana dari implementasi sound design adalah pada game Frequency Missing. Sementara itu, pada game yang lebih advance, sound design memiliki berbagai turunan yang membuat kompleksitas game RPG sehingga memungkinkan untuk dimainkan oleh tunanetra sekalipun.

 

Baca juga: Sound Design, Aksesibilitas pada Game RPG sebelum Last of Us Part II

Jika kamu adalah seorang  developer game…

Dan ingin membuat game yang kamu buat bisa di akses seluruh kalangan difabel, atau ramah difabel tertentu, kamu bisa mulai menerapkan WCAG. Selain itu, mengaktifkan fitur assistive technology seperti screen reader untuk melakukan testing juga merupakan komponen yang penting. Bisa juga dengan mematikan seluruh volume suara dan hanya bermodalkan visual, atau malah memejamkan mata dan hanya menggunakan suara pada saat memainkan game tersebut untuk simulasi.

Selain itu, kamu juga bisa berkolaborasi dengan Suarise. Suarise menyediakan jasa konsultan dan user testing dengan tester dari berbagai latar belakang disabilitas, khususnya tunanetra. Kami merupakan satu-satunya konsultan khusus di bidang aksesibilitas digital di Indonesia. Tim kami sebelumnya telah berpengalaman dalam melakukan accessibility audit di Inggris.

Yuk jadikan game semakin inklusif dan #BisaDiAkses semua orang tanpa kecuali!

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia