Accessibility Design Challenge

Accessibility Design Challenge 2025: Mendorong Inklusi Digital Lewat Desain yang Aksesibel

150 150 Juwita Maulida

Accessibility Design Challenge (ADC) 2025 merupakan lomba desain aksesibilitas digital pertama di Indonesia, hasil kolaborasi antara komunitas A11yID dan Suarise. Final ajang ini digelar dalam acara Demo Day yang bertepatan dengan peringatan Global Accessibility Awareness Day (GAAD) pada Sabtu, 17 Mei 2025, bertempat di Dia.lo.gue Kemang, Jakarta.

Didukung oleh ISIF Asia dan APNIC Foundation, Accessibility Design Challenge 2025 hadir dengan tujuan mendorong peningkatan kesadaran, keterampilan, dan praktik aksesibilitas di kalangan pelajar maupun profesional UI/UX. Di tengah lebih dari 23 juta penyandang disabilitas di Indonesia, akses terhadap layanan digital bukan lagi sekadar fitur tambahan, melainkan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi oleh setiap produk digital.

 

Menjawab Tantangan dengan Redesign Produk Digital 

Berangkat dari temuan bahwa 67% masalah aksesibilitas bersumber dari fase desain (Deque, 2023), Accessibility Design Challenge 2025 hadir bukan untuk menciptakan produk baru, melainkan menyempurnakan produk digital yang telah ada. Peserta ditantang untuk melakukan redesign terhadap aplikasi atau situs nyata dari berbagai sektor seperti transportasi, layanan keuangan, kesehatan, pendidikan, hingga hiburan, dengan fokus utama pada kepatuhan terhadap prinsip WCAG 2.2 dan prinsip POUR (Perceivable, Operable, Understandable, Robust).

Kompetisi ini berlangsung dari Maret hingga Mei 2025 dalam tiga fase utama: pelatihan dan penyisihan, mentoring semifinal, dan Demo Day. Proses ini dirancang sebagai pengalaman belajar holistik melalui sesi pembekalan daring, lokakarya teknis, hingga sesi bimbingan dengan para ahli.

Semua diarahkan untuk menciptakan desain yang bukan hanya cantik, tetapi juga bisa diakses oleh semua, termasuk penyandang disabilitas.

 

Insight dari Para Mentor

Selama proses pelatihan dan mentoring, berbagai dinamika menarik terjadi. “Menurutku materinya sangat bagus, terutama di discovery session. Jadi kelihatan langsung pentingnya paham aksesibilitas,” ujar Halida A., salah satu mentor. Namun ia juga menggarisbawahi tantangan waktu, “Materi dan jadwalnya padat banget. Banyak juga yang gugur atau nggak maksimal karena waktunya mepet, walau kalau dikasih waktu lebih banyak, belum tentu mereka nggak deadliner juga.”

Halida juga menyoroti dinamika kerja dalam kelompok kecil, “Untuk yang aku mentori, sudah sangat baik, aktif bertanya dan kalau dikasih masukan nggak asal terima tapi memastikan mereka paham kenapanya. Di case aku karena kelompoknya kecil dan udah akrab jadi cukup mudah mancing masing-masing terlibat, tapi kalau timnya lebih besar mungkin perlu effort lebih untuk mastiin semua terlibat.”

Hal serupa diungkapkan oleh Andiastika Intan Pratiwi, mentor lain yang terlibat dalam Accessibility Design Challenge. “Kritis, tidak hanya sekadar menerima arahan tapi mau mempertanyakan kenapa arahan yang diberikan tersebut perlu dilakukan. Terdapat beberapa hal di mana mentor tidak dapat menjawab karena belum memiliki pengalaman terkait aksesibilitas yang ditanyakan. Sehingga mendorong saya untuk mencari dan menggali lebih dalam terkait hal yang ditanyakan oleh peserta.”

Solusi Aksesibilitas Digital dari Para Designer 

Sepuluh tim finalis yang berasal dari kategori pelajar dan profesional mempresentasikan hasil redesign mereka di Demo Day. Salah satunya adalah tim DKatalis yang menyempurnakan halaman utama aplikasi MyMRTJ agar lebih ramah bagi pengguna low vision. Seorang freelancer mengoptimalkan akses screen reader untuk fitur transaksi Bank Jago. Mahasiswa dari UMRI dan Unpam juga turut menghadirkan tampilan baru aplikasi Tix agar dapat diakses pengguna tunanetra.

Ada pun para pemenang terbaik dari masing-masing kategori, antara lain:

Kategori Pelajar:

  •         Juara 1: Tim mahasiswa Universitas Pamulang dan Universitas Muhammadiyah Riau yang mendesain ulang website Tix agar lebih ramah bagi pengguna tunanetra.
  •         Juara 2: Tim mahasiswa dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dengan redesign aplikasi pendidikan Brainly.
  •         Juara 3: Tim mahasiswa Universitas Brawijaya yang menyempurnakan fitur Buat Kartu pada aplikasi Bank Jago.

Kategori Profesional:

  •         Juara 1: Tim dari PT DKatalis Digital Lab yang memperbaiki tampilan halaman utama aplikasi MyMRTJ.
  •         Juara 2: Freelancer individu yang mendesain ulang aplikasi Wisata Alam Indonesia agar lebih ramah bagi pengguna screen reader.
  •         Juara 3: Tim profesional beranggotakan tiga orang yang menyulap website MyHartono menjadi lebih aksesibel dan terstruktur.

Penilaian dilakukan berdasarkan lima aspek utama: kepatuhan terhadap standar aksesibilitas, akses visual, arsitektur informasi, dokumentasi desain, dan kualitas presentasi. Para juara mendapatkan hadiah uang tunai, sertifikasi profesional CPACC (untuk kategori profesional), serta kesempatan magang sebagai A11y Apprentice di Suarise. Semua finalis juga menerima akses kursus web accessibility, suvenir eksklusif, dan bimbingan karier.

Dampak dan Refleksi

Accessibility Design Challenge 2025 menjaring 290 peserta dari berbagai kota dan latar belakang. Bagi banyak peserta, kompetisi ini membuka cakrawala baru tentang tanggung jawab sosial dalam desain digital. Banyak peserta mengungkapkan bahwa kegiatan ini membuka mata mereka tentang pentingnya aksesibilitas dalam desain. “Sekarang saya jadi lebih paham aksesibilitas itu dicapai dengan apa saja, dan makin memahami struggle teman-teman difabel ketika menggunakan produk yang tidak aksesibel,” ujar salah satu peserta. 

Mereka juga menyadari bahwa selama ini belum secara sadar mendesain produk yang benar-benar aksesibel. Selain itu, kegiatan ini membantu peserta memahami tantangan nyata dalam implementasi prinsip aksesibilitas serta memberi gambaran tentang dari mana harus memulai advokasi atau praktik desain yang inklusif. “Menurut saya acara ini sangat bermanfaat, dan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir kami tentang aksesibilitas,” tambah peserta lainnya.

 

Accessibility Design Challenge bukan sekadar lomba, ini merupakan gerakan kolektif untuk memastikan tak ada satu pun pengguna yang tertinggal, termasuk pengguna dengan disabilitas. Melalui Accessibility Design Challenge, kita belajar bahwa desain bukan hanya soal estetika atau fungsi, tapi juga soal empati dan tanggung jawab sosial. Di tengah perkembangan dunia digital, memastikan akses bagi semua bukan lagi pilihan, melainkan keharusan.

 

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia