regulasi

Tampilan layar zoom dalam diskusi panel Gaad 2024 dengan moderator rahma utami (kiri atas), JBI (kanan atas), pembicara Zidny (kiri bawah) dan pembicara Mahali (kanan bawah)

Urgensi Regulasi Aksesibilitas Digital dalam Membangun Lingkungan Digital yang Inklusif

1600 1000 Iin Kurniati

Jakarta, 28 Mei 2024 –  Suarise menutup rangkaian Hari Kesadaran Aksesibilitas Global (Global Accessibility Awareness Day – GAAD) Tahun 2024 dalam Diskusi Panel bertajuk Jalur Menuju Inklusi Digital: Pendekatan Regulasi terhadap Aksesibilitas. Melalui serangkaian kampanye digital Tantangan Aksesibilitas, diskusi bersama komunitas disabilitas via media sosial, dan diskusi panel, Suarise meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat khususnya pemerintah mengenai aksesibilitas digital dan urgensi regulasinya dalam membangun lingkungan digital yang inklusif.

Pendekatan Regulasi terhadap Aksesibilitas Digital

Suarise menyelenggarakan Diskusi Panel dalam GAAD 2024 untuk meningkatkan kesadaran lembaga publik mengenai kebijakan dan implementasi penerapan aksesibilitas digital. Kegiatan diikuti oleh ratusan peserta dari perwakilan kehumasan Kementerian/Lembaga, serta perwakilan dinas Kominfo di berbagai daerah di Indonesia ini menyajikan pendekatan regulasi terhadap aksesibilitas digital, termasuk komparasi regulasi aksesibilitas digital dari berbagai negara.

tampilan layar zoom keynote speaker Hasyim Gautama (kiri) bersama Juru bahasa isyarat (kanan).

Hasyim Gautama, Kominfo membuka pelaksanaan Diskusi Panel Suarise dalam Peringatan GAAD Tahun 2024, dok. Suarise

Hasyim Gautama, Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik, Ditjen IKP Kementerian Kominfo dalam keynote speech nya memaparkan bahwa pihaknya selaku regulator telah berupaya meningkatkan kualitas layanan informasi publik yang inklusif. Saat ini Kominfo telah menyusun kebijakan dan standar operasional pedoman layanan informasi dan komunikasi berbasis digital bagi disabilitas. 

Kebijakan tersebut merujuk pedoman yang sudah ada yaitu ISO 40500 dan WCAG (Web Content Accessibility Guidelines). Penyusunan ini melibatkan kolaborasi berbagai pihak seperti Open Government Indonesia dan Suarise. Melalui keberadaan pedoman itu, Kominfo berharap dapat memenuhi hak-hak disabilitas. “Kebijakan ini tentunya (menjadi) kebijakan yang bersifat inklusif. Diharapkan dapat memenuhi hak-hak penyandang disabilitas dalam komunikasi dan memperoleh informasi” tutur Hasyim. 

Selanjutnya, pada sesi presentasi mengenai Aksesibilitas Digital di berbagai Negara, Nur Zidny Ilmanafia, research associate Suarise mengungkapkan bahwa digitalisasi di Indonesia beum efektif. Zidny menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki ribuan layanan digital berupa aplikasi, tetapi aplikasi tersebut hanya menjalankan satu fungsi. 

“Aplikasi-aplikasi tersebut tidak terintegrasi dan tidak sinkron satu sama lain. Kalau sudah berorientasi pada pengguna, maka masyarakat sebetulnya cukup mengakses satu portal informasi yang didalamnya bisa untuk mengakses layanan kependudukan atau kesehatan atau layanan lainnya,” jelas Zidny. 

Zidny melanjutkan berdasarkan temuan penelitian terdapat 2.000 lebih pelanggaran aksesibilitas dari sampel 34 website pemerintah provinsi di Indonesia. Isu aksesibilitas yang sering dilanggar meliputi rendahnya kontras warna, tautan kosong, dan gambar yang tidak memiliki alternatif teks. 

Sementara di negara lain, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, telah memiliki pedoman aksesibilitas yang telah diimplementasikan sejak tahun 1990-an. Negara-negara tersebut juga melakukan audit dan evaluasi secara sistematis untuk memastikan semua website maupun aplikasi baik di sektor pemerintah maupun sektor swasta bisa diakses oleh semua, termasuk disabilitas. Apabila menemukan pelanggaran, pihak terkait akan menerima denda. Namun, kebijakan serupa belum ada di Indonesia.

Sejalan dengan presentasi Zidny, Mahalli, staf aksesibilitas Subdirektorat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya memaparkan pentingnya menciptakan lingkungan sosial yang inklusif. Menurut Mahalli, para pemangku kepentingan perlu menghilangkan asumsi mengasihani disabilitas dan menanamkan pola pikir bahwa menyediakan aksesibilitas digital bukanlah suatu pilihan, melainkan menjadi kewajiban. “Pemangku kepentingan perlu melibatkan disabilitas dalam pengembangan aplikasi dan website,” tegasnya. 

Hal ini telah ia terapkan ketika memberi pelatihan membangun layanan yang aksesibel kepada pengelola website di tempat kerjanya. Mahalli juga berpesan kepada penyandang disabilitas untuk meningkatkan literasi terkait pengetahuan teknologi bantu seperti pembaca layar dan lain-lain untuk mengakses konten digital. Disisi lain, tambahnya, keberadaan teknologi tidak akan menghapus hal-hal yang bersifat fundamental seperti bahasa isyarat yang akan tetap dibutuhkan oleh teman tuli untuk memahami informasi.

Baca Menuju Aksesibilitas Digital melalui Inklusi Sosial bagi Disabilitas – Suarise Indonesia

Memahami Perspektif Disabilitas dalam Aksesibilitas Digital

Dalam kesempatan berbeda, Suarise menggelar rangkaian GAAD 2024 melalui diskusi bersama sejumlah komunitas disabilitas untuk lebih jauh memahami soal aksesibilitas, baik aksesibilitas fisik maupun aksesibilitas digital. Kegiatan yang diselenggarakan via Instagram LIVE bareng Suarise ini menghadirkan perwakilan komunitas SilangID dan Accessible Leisure.

Bagja Prawira, Co-Founder SilangID dalam sharing session 16 Mei lalu menuturkan bahwa teman Tuli menggunakan bahasa isyarat ketika menjalani aktivitas sehari-hari. Bagi teman tuli, bahasa isyarat telah menjadi budaya berkomunikasi. Namun, tidak semua teman Tuli hanya mengandalkan bahasa isyarat ketika berkomunikasi. Sebaliknya, ada beberapa teman Tuli yang memahami bahasa Indonesia atau sejenisnya dalam berkomunikasi.

Dalam mengakses teknologi, Bagja mengungkapkan bahwa teman Tuli yang memahami bahasa Indonesia secara umum menggunakan fitur closed caption, tetapi bagi teman Tuli yang tidak paham maka peran juru bahasa isyarat (JBI) sangat dibutuhkan. JBI berperan penting untuk mentransfer informasi dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa isyarat. “Keberadaan closed caption tetap bermanfaat bagi teman Tuli sebagai sarana belajar kosa kata baru dan struktur kalimat,” ungkap Bagja.

Disisi lain, Revin Leo, content writer tunanetra Suarise menceritakan kendalanya ketika menemukan konten gambar. Meskipun para pengembang teknologi telah menyediakan fitur alternatif teks agar tunanetra bisa menerima informasi berbentuk visual, tetapi menurutnya masih belum banyak orang yang memanfaatkan fitur tersebut secara optimal.

Padahal alternatif teks berfungsi untuk mendeskripsikan isi informasi dalam gambar. Namun, alternatif teks kerap absen dari konten-konten gambar yang diunggah pada media sosial. Dalam sharing session tersebut, Revin mengajak masyarakat memberikan alternatif teks sebelum mengupload konten ke media sosial. “Kalau postingan ada alternatif teks-nya, aku jadi langsung paham apa maksud gambarnya. Contoh postingan suarise pada acara ini ada al teks, Dalam memperingati Global Accessibility Awareness Day (GAAD) Collaborative Sharing Session with Silang ID,” tutur Revin.  

Fitur aksesibilitas lain yang dapat membantu tunanetra menurut Revin yakni keberadaan fitur audio description pada konten video. Revin mengungkapkan bahwa fitur audio description membuatnya lebih paham ketiga ada adegan non dialog (mimik wajah, tindakan aksi, dan sebagainya) saat menonton film yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam dialog pada salah satu layanan streaming. 

Informasi yang bisa diakses oleh teman netra dan teman tuli dapat berdampak terhadap kemandirian mereka. Namun realitanya belum semua informasi yang dibutuhkan disabilitas tersedia. Salah satunya informasi mengenai aksesibilitas suatu tempat. Permasalahan ini menjadi topik bahasan lain dalam sharing session via Instagram Live Suarise bersama Accessible Leisure pada 18 Mei lalu.

Maudita Zobritania, founder Accessible Leisure menjelaskan bahwa minimnya informasi mengenai aksesibilitas fisik suatu tempat seperti akses tangga, ruang untuk kursi roda, dan akses kamar mandi menjadi tantangan disabilitas ketika akan mengadakan aktivitas bertemu secara tatap muka. Umumnya informasi yang tersedia di internet hanya terbatas pada aspek estetika tempat tersebut. 

Permasalahan ini terjadi pada sebagian besar tempat di Indonesia termasuk di wilayah Jakarta dan Bali. Akibatnya pengunjung disabilitas harus menghubungi pihak pemilik tempat secara manual untuk menanyakan apakah tempat tersebut aksesibel atau tidak sebelum berkunjung. “Seharusnya semua pemilik tempat menyediakan informasi aksesibilitas, sehingga memudahkan disabilitas dalam menentukan lokasi kegiatan. Hal lain yang bisa dilakukan penyedia layanan adalah memberi pelatihan kepada para staf tentang cara mendampingi disabilitas dari semua kalangan,” jelas Zo.

Secara teknis, Zo dan Iin Kurniati, Public Relations Suarise sepakat bahwa regulasi yang mengatur hal tersebut sudah ada, tetapi belum terlaksana secara optimal. Khusus ranah digital, Iin melihat ketiadaan pedoman aksesibilitas mengenai bagaimana cara membuat website atau aplikasi yang aksesibel menjadi kendala bagi pengembang di Indonesia. 

Suarise menjawab masalah ini tersebut dengan terlibat bersama Kementerian Kominfo dalam merancang pedoman aksesibilitas digital. Sasaran awal pedoman ini yakni kalangan Pemerintah yang kerap memberikan layanan publik. Pemerintah dituntut memiliki layanan digital terutama layanan berbentuk website yang mudah diakses disabilitas. Setelah itu, baru ke depan Pedoman ini diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain, termasuk sektor industri untuk menerapkan hal serupa pada organisasinya.

Pedoman aksesibilitas digital tentang bagaimana merancang website ini penting diketahui semua orang. Oleh karena itu, selain ikut terlibat dalam perancangan pedoman, Suarise turut menyosialisasikan pedoman ini kepada berbagai kalangan. Salah satu target implementasi dari Pedoman ini yakni pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pembuatan website atau aplikasi, diantaranya para pengembang teknologi. 

Guna memberi pemahaman dan pengetahuan mendalam soal aksesibilitas Suarise baru saja menyelesaikan penyelenggaraan A11y (Accessibility) Bootcamp pertama di Indonesia. Bootcamp ini merupakan workshop intensif soal aksesibilitas digital selama tiga bulan yang dilaksanakan secara hybrid sejak Januari hingga April 2024. 

Kegiatan yang diikuti oleh sekitar 40 orang berlatar belakang UI/UX designer, UX  research  UX writer, Web and App developer dari Jabodetabek, Malang, dan Yogyakarta menjadi titik awal Pelaksanaan GAAD 2024. Kegiatan ini ditutup dengan hasil akhir berupa pengujian aksesibilitas digital dari sepuluh website berbagai sektor yang melibatkan teman-teman disabilitas. Temuan ini ke depan akan menjadi Temuan ini akan menjadi bahan advokasi kepada para pemangku kepentingan.

Kegiatan Accessibility Bootcamp didukung oleh hibah dari Information Society Innovation Fund (ISIF Asia) dan APNIC Foundation. Acara ini juga terselenggara berkat kerja sama dengan Algobash, serta media dan community partner bersama UXID Bandung, Design Rant, dan Ruang Gerak. Selain itu, khusus pada penyelenggaraan kegiatan penutup A11y Bootcamp, Kami didukung oleh Apple Developer Academy selaku venue supporting.

Tentang Penyelenggara

Suarise adalah perusahaan sosial independen yang fokus mempromosikan yang memungkinkan kesamaan akses dan kesempatan bagi orang-orang dengan gangguan penglihatan (tunanetra) di industri digital dan platform online. Sejak didirikan pada 2017, Suarise menyediakan tiga layanan utama. Pertama, memberikan pelatihan vokasi terkait teknologi digital bagi tunanetra dan low vision agar dapat bekerja secara independen maupun sebagai tenaga tetap dalam perusahaan.

Kedua, Suarise membuka konsultasi dan riset aksesibilitas digital, serta persiapan onboarding bagi perusahaan yang akan mempekerjakan disabilitas, khususnya tunanetra dan low vision. Ketiga, Suarise menyediakan jasa penulisan konten digital yang dilakukan para talents Suarise tunanetra dan low vision. Suarise juga memprakarsai a11yID, komunitas Indonesia pertama untuk orang-orang dengan latar belakang teknologi yang ingin mengeksplorasi lebih banyak tentang aksesibilitas digital.

ISIF adalah singkatan dari The Information Society Innovation Fund (ISIF Asia) ISIF ASIA adalah organisasi nirlaba yang fokus mendukung dan mempercepat penggunaan dan pengembangan internet untuk kepentingan sosial di seluruh dunia. Organisasi ini memberikan dukungan keuangan dan teknis kepada proyek-proyek inovatif yang berupaya meningkatkan akses, keamanan, privasi, dan manfaat sosial dari internet. Suarise mendapat dukungan pendanaan penuh ISIF dalam program be The A11y Project yang meliputi A11y Bootcamp, A11y Empathy Lab Pop Up Experience, A11y Design Challenge, dan Accessibility Issue Submission Challenge. 

 

Kontak Suarise: 

Iin Kurniati 

Public and Government Relations Suarise 

Email: [email protected] 

Website: http://suarise.com

Bagikan ke lini masa Anda untuk mendukung iklim inklusif di Indonesia