Di era digital saat ini, sejumlah layanan digital pemerintah telah tersedia secara online dalam bentuk website maupun aplikasi mobile. Keberadaan layanan digital ini menjadikan pelayanan pemerintah lebih inklusif sehingga memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi dan melakukan berbagai transaksi tanpa harus datang langsung ke kantor. Layanan-layanan tersebut diantaranya mencakup pengurusan dokumen kependudukan, pembayaran pajak, pendaftaran BPJS Kesehatan, dan lain sebagainya. Melalui adanya platform digital ini, proses administrasi diharapkan menjadi lebih cepat, efisien, dan transparan.
Namun, layanan digital pemerintah yang tersedia tidak sepenuhnya aksesibel bagi semua kalangan, misalnya tidak mudah diakses oleh disabilitas. Belum terdapatnya aksesibilitas digital pada layanan pemerintah tidak hanya disebabkan oleh faktor teknis, tetapi juga dipengaruhi faktor lain, salah satunya inklusi sosial. Temukan penjelasan lebih lanjut tentang inklusi sosial dan kaitannya dengan disabilitas dalam artikel ini!
Baca juga: Be My Eyes: Aplikasi untuk Meminjamkan Mata kepada Tunanetra
Inklusi Sosial dan Hubungan dengan Disabilitas
Inklusi sosial berkaitan erat dengan disabilitas karena disabilitas merupakan salah satu objek dalam inklusi sosial. Menurut laman Bank Dunia, inklusi sosial merupakan proses peningkatan peran individu untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk peningkatan kemampuan, kesempatan, dan martabat.
Pada setiap tempat, beberapa kelompok yang dibedakan berdasarkan gender, usia, lokasi, pekerjaan, ras, etnis, agama, status kewarganegaraan, disabilitas, dan orientasi seksual menghadapi berbagai hambatan. Sejumlah hambatan ini menghalangi mereka untuk berpartisipasi secara penuh maupun sebagian dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Apabila tidak diatasi, hambatan itu akan merugikan kelompok-kelompok tersebut, seperti kesulitan mengakses layanan pemerintah, kesulitan memperoleh pendidikan yang layak, kesulitan dalam menerima informasi, dan lain sebagainya. Tulisan ini fokus membahas hambatan yang dialami oleh teman-teman disabilitas.
Faktor Penghambat Inklusi Sosial Disabilitas
Mahali, peneliti dan ahli aksesibilitas Universitas Brawijaya memaparkan pentingnya disability awareness di mata publik, disampaikan pada Diskusi Panel Perayaan GAAD Suarise 2024 (doc. Suarise)
Peneliti dan Ahli Aksesibilitas, Subdirektorat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya dan AIDRAN, Mahalli, dalam acara Diskusi Panel Suarise bertajuk “Jalur Menuju Inklusi Digital: Pendekatan Regulasi terhadap Aksesibilitas” menjelaskan bahwa sebelum membicarakan faktor teknis aksesibilitas digital, penting untuk mewujudkan inklusi sosial terlebih dahulu. Sehingga ketika disability awareness atau kesadaran soal disabilitas pada lingkungan masyarakat tinggi, maka masyarakat baru bisa dikenalkan dengan pedoman aksesibilitas digital.
Namun, lanjut Mahalli, inklusi sosial di Indonesia belum terlaksana secara ideal. “Kalau di Indonesia keterlibatan disabilitas itu masih kurang di berbagai sektor. Kehidupan sosial kita belum terbuka dengan disabilitas, banyak orang yang masih belum paham dengan kebutuhan disabilitas.” tegas Mahalli. Dari segi penyandang disabilitas, Mahalli juga menyoroti pentingnya disabilitas memahami literasi seputar cara penggunaan teknologi bantu dan aksesibilitas digital untuk mengakses berbagai aplikasi atau website.
Beberapa faktor mengapa inklusi sosial di Indonesia belum berjalan diantaranya disebabkan masyarakat tidak pernah bertemu disabilitas secara langsung, kentalnya stigma, dan asumsi pribadi soal disabilitas.
Tidak Pernah Bertemu Disabilitas Secara Langsung
Faktor pertama adalah mayoritas masyarakat belum pernah bertemu atau berinteraksi dengan disabilitas secara langsung. Beberapa orang pernah bertemu, tetapi untuk keperluan pemberian bantuan untuk disabilitas ataupun program tanggung jawab sosial suatu perusahaan. Kurangnya interaksi ini mengakibatkan sering kali masyarakat merasa heran dan kagum berlebihan saat melihat seorang disabilitas dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Contohnya saat Putri Ariani, seorang disabilitas netra, salah satu pemenang ajang pencarian bakat menyanyi di Amerika menunjukkan dirinya bisa menggunakan instagram. Masyarakat menganggap kemampuan Putri menggunakan media sosial merupakan sesuatu yang luar biasa. Padahal tunanetra lazim dapat mengoperasikan ponsel pribadinya selama mereka menggunakan pembaca layar atau fitur asistif teknologi lainnya.
Stigma dan Asumsi
Faktor berikutnya adalah kesalahan asumsi dan stigma negatif terhadap disabilitas. Faktor kedua ini berhubungan dengan faktor sebelumnya. Seseorang yang tidak pernah bertemu dengan disabilitas umumnya berasumsi bahwa penyandang disabilitas tidak mampu hidup mandiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa keberadaan disabilitas menjadi beban bagi keluarga dan lingkungan.
Stigma dan asumsi tersebut juga dipengaruhi oleh representasi disabilitas dalam pemberitaan-pemberitaan pada media nasional. Mayoritas pemberitaan menggambarkan disabilitas sebagai pihak yang pasif. Media juga kerap menekankan bahwa disabilitas merupakan pihak yang rentan dan lemah. Stigma negatif lain yang muncul yakni penyandang disabilitas tidak cerdas dan tidak memiliki kemampuan untuk belajar dan bekerja. Tak jarang penyandang disabilitas sering kali ditolak saat akan mendaftar sekolah maupun perguruan tinggi, tidak mendapat kesempatan kerja yang setara, hingga adanya pembatasan ruang untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial.
Apa Dampak Kurangnya Inklusi Sosial terhadap Disabilitas?
Dampak langsung yang dirasakan disabilitas dari kurangnya inklusi sosial adalah beberapa layanan yang ditujukan untuk mereka dibuat tidak mengakomodasi kebutuhan disabilitas. Beberapa layanan dikembangkan berdasarkan asumsi pribadi tanpa melibatkan disabilitas. Misalnya muncul asumsi bahwa disabilitas memerlukan fitur khusus pada website.
Saat tulisan ini diterbitkan terdapat sejumlah website dari pemerintah yang menerapkan fitur khusus tersebut. Salah satu website yang memiliki fitur khusus ini adalah website Kementerian Komunikasi via kominfo.go.id. Pada website tersebut ditemukan widget atau overlay aksesibilitas.
Dalam overlay atau widget ini berisi berbagai pengaturan diantaranya seperti memperbesar font, mengatur kontras warna, dan mengaktifkan pembaca layar. Overlay tersebut juga mengklasifikasikan berbagai pengaturan yang ada menjadi delapan yaitu pengaturan untuk:
- gangguan motorik
- netra total
- buta warna
- disleksia
- gangguan penglihatan
- kognitif dan pembelajaran
- kejang dan epilepsi
- ADHD.
Apakah Efektif?
Mahalli mengatakan langkah penambahan fitur widget atau overlay dinilai tidak efektif, bahkan malah dapat mengganggu pengguna. Menurutnya, disabilitas tidak pernah menggunakan fitur tersebut sebagai contoh ketika mengaktifkan pilihan netra total, fitur otomatis akan mengaktifkan suara. Padahal disabilitas netra tidak membutuhkan fitur suara karena mereka sudah dapat bernavigasi menggunakan fitur pembaca layar bawaan dari perangkat elektronik seperti laptop atau smartphone masing-masing. Keberadaan fitur aktifkan suara justru dapat membuat bingung, sebab suara dari website akan bertabrakan dengan suara pembaca layar dari perangkat elektronik.
Contoh lain ketidakefektifan fitur website yang disampaikan Mahalli yakni penggunaan widget untuk disleksia. Saat fitur diaktifkan, widget ini justru akan mengubah jenis font. Padahal dalam praktiknya penyandang disleksia tidak membutuhkan fitur ini. Dalam menggunakan website, disleksia cukup mengatur ukuran spasi tanpa mengubah jenis font.
Baca juga: Cara Mengaktifkan Screen Reader Pada iPhone & iPad
Cara Menciptakan Inklusi Sosial untuk Disabilitas dalam ranah Aksesibilitas Digital
Cara untuk menciptakan inklusi sosial dalam ranah aksesibilitas digital yakni melibatkan disabilitas secara langsung menjadi penguji (disability user testing) saat akan membuat suatu produk digital, seperti website atau aplikasi. Disability user testing merupakan salah satu tahap penting untuk mengetahui apakah suatu produk digital mudah digunakan oleh pengguna disabilitas.
Dalam metode pengujian produk digital, para pengembang aplikasi atau website akan memilih pengguna dari berbagai kalangan untuk mencoba lalu mengidentifikasi pengalaman mereka mengakses produk. Dalam disability user testing, pengguna disabilitas akan mengidentifikasi dan memberikan umpan balik atas masalah aksesibilitas yang ditemukan maupun kemungkinan masalah aksesibilitas yang akan terjadi.
Kegiatan tersebut bermanfaat untuk mengetahui secara langsung bagaimana pengalaman pengguna sehingga pengembang dapat memperbaiki aplikasi atau website sebelum dirilis untuk umum. Di Indonesia, disability user testing belum terlaksana dengan optimal karena minimnya pengetahuan mengenai hal tersebut.
Disabilitas di Indonesia sebenarnya telah berupaya menginformasikan ke pengembang aplikasi apabila menemukan aplikasi atau website yang tidak aksesibel melalui review di youtube. Cara lain adalah melalui forum atau diskusi akademik seperti yang penulis lakukan bersama Suarise saat menguji aplikasi Peduli Lindungi. Pengujian tersebut menghasilkan temuan beberapa tombol di aplikasi peduli lindungi tidak dapat diklik ketika pembaca layar aktif dan tombol lain tidak berlabel. Namun, menurut pandangan penulis langkah ini tidak sepenuhnya efektif. Hal tersebut dibuktikan pengembang tidak memperbaiki aplikasi atau website-nya. Tentu ini sangat berbanding jauh dari negara lain.
Dalam acara yang sama, Zidny Ilma Nafia, Research Associate Suarise memaparkan hasil studinya mengenai inklusi sosial di sejumlah negara. Zidny mengungkapkan bahwa di India dan Perancis sudah memiliki jabatan user testing dalam pemerintahan. Beberapa negara, lanjutnya, memungkinkan disabilitas melaporkan dan menuntut pemerintah ke pengadilan ketika mereka menemukan aplikasi yang tidak aksesibel.
Beberapa negara semisal Amerika Serikat juga menerapkan sistem denda jika pengembang tidak mengikuti pedoman aturan aksesibilitas. “Pinalti atau denda ini diberikan tergantung tingkat keparahan pelanggaran. Di India denda maksimal 95 juta rupiah, bahkan di perancis dendanya bisa mencapai 350 juta rupiah” jelas Zidny.
Pada akhirnya inklusi sosial memang perlu terbentuk terlebih dahulu agar kebijakan dan layanan yang ditujukan untuk disabilitas bisa tepat guna. Pemangku kepentingan perlu memahami aksesibilitas digital sebagai hak bagi disabilitas, bukan sesuatu yang bersifat pilihan. Apa lagi hak disabilitas untuk mengakses informasi secara mandiri telah diatur oleh undang-undang dan konferensi internasional. Masyarakat dan pemerintah perlu melibatkan disabilitas. Begitu juga dengan disabilitas harus terbuka mau menjelaskan ke masyarakat awam cara mereka mengakses teknologi digital.
*Artikel ini disusun oleh talents content writer tunanetra Suarise, Bayu Aji Firmansyah
Bila tertarik menggunakan jasa content writer talents Suarise, hubungi Project Manager Suarise [email protected]